Sabtu, Desember 26, 2009

BULAN MERAH

Bulan Merah

Oleh: Aveus Har

Masih terlalu siang untuk bulan. Matahari sedang hendak beranjak. Masih terlalu siang pula untuk Pardi. Para pedagang sedang hendak menggelar lapak. Masih terlalu dini memang. Hari baru menjelang Ashar.

Jumilah, istri Pardi, pun sudah mengingatkan suaminya tadi. Tapi mana mau Pardi peduli? Dia bukan orang yang suka menunda-nunda. Dari pulang kerja sebelum minum teh hangat bikinan sang istri, dia sudah langsung mengajak bicara serius. Lalu segera ganti baju dan celana. Jumilah juga dandan cepat-cepat karena Pardi menunggu di ambang pintu. Dia memainkan kunci kontak motornya yang berbandul kelentingan. Bunyi tang-tingnya membuat Jumilah merasa diburu-buru.

Begitu sampai di Jalan Kemakmuran, Jumilah mencibiri punggung suaminya. Dalam hatinya dia bilang, "Rasain, dibilang belum pada buka, ngotot...." Tapi lengannya tetap mengait perut Pardi yang masih kempes.

Pardi tidak bilang apa-apa. Dia juga tidak mau mengakui apa-apa. Tidak terlalu penting kesalahannya kali ini. Masih ada hal yang jauh lebih penting. Lebih genting. Meski perutnya belum diisi, bukan masalah itu di pikiran Pardi.

Bulan memang terlalu dini. Toh akhirnya matahari beranjak juga. Pardi juga terlalu dini. Toh akhirnya perutnya akan terisi juga. Warung nasi urap yang hanya lesehan tikar di atas trotoar, selaksa hidangan istimewa saat lapar.

Pardi memesan seporsi. Istrinya tidak. Masih kenyang katanya. Tadi pagi dia memasak sambal goreng ati kesukaan Pardi. Biasanya dia menunggu suaminya pulang. Tapi tadi Pardi SMS bilang tidak makan siang di rumah. Jumilah mengira ada rapat di kantor suaminya. Biasanya ada nasi kateringnya.

Ternyata Pardi belum makan. "Siang ini, sampai nanti malam kita makan di luar."

Jumilah kaget. "Masakanku?"

"Kita kirimkan ke tetangga-tetangga."

Jumilah protes. Ini tidak adil, katanya. Dia sudah capek-capek masak istimewa buat suami tercinta tapi malah akan dibagi-bagi ke tetangga. Dia berkata-kata dengan mata berkaca-kaca.

Pardi tahu dirinya telah menyakiti sang istri. Dia menarik napas panjang seperti menyesal. Dengan perlahan dia bertutur ihwal keputusannya. Tangis Jumilah malah tumpah. Bukan karena kengototan Pardi untuk makan di luar. Justru karena tahu Pardi punya alasan yang dia restui. Biarlah masakan istimewa kali ini dibagi-bagi.

"Tapi warungnya belum pada buka jam segini," kata Jumilah.

"Sudah," yakin Pardi.

"Kalau belum?"

"Ditunggu."

"Tidak kelaparan?"

"Tidak apa."

Jumilah tahu Pardi keras kepala. Tapi hatinya lembut seperti sutera. Itu yang membuat Jumilah suka, lalu jatuh cinta.

Sekarang Pardi lahap mengunyah nasi urap. Jumilah memandangi penjualnya. Wanita tua membuat dia teringat ibunya di kampung. Bersama siapa ibunya tiap hari? Jumilah satu-satunya anak. Itupun anak pungut dari orangtua yang tega meninggalkan bayinya di samping tempat sampah. Ibunya sudah bercerita sebelum dia bertanya.

Jumilah tidak mau mencari orangtuanya. Ibu adalah orangtuanya. Yang tidak menikah dan menjadi perawan tua. Jumilah tidak tega meninggalkan ibunya di kampung. Tapi Pardi suaminya itu diterima jadi pegawai negeri di sini. Sedang ibunya tidak ingin pergi.

Apakah ibu penjual nasi urap ini punya suami?

"Sudah tidak tahu di mana, Nak," kata ibu itu. Matanya sembab. Lalu mengalur tentang sebab. Suaminya pergi sebagai buronan polisi. Dia membacok majikannya sampai mati.

Dia punya dua anak. Perempuan semua. Yang satu menikah dan transmigrasi. Tidak pernah kembali. Yang satu punya anak, tapi tidak punya suami. Nasi urap ini yang membiayai.

Kelopak Jumilah memanas. Pardi tahu. Dia memandang istrinya. Matanya bilang, jangan menangis. Hidup memang sering tidak adil. Tapi bisa apa mereka?

Pardi membayar. Kembaliannya tidak dia minta. Hitung-hitung memberi derma. Semoga bisa menebus dosa yang tidak dia berdaya.

Beberapa meter dari warung nasi urap, Pardi menghentikan motor di depan gerobak buah. Gerobak ini turun di jalan. Tidak di trotoar. Jalan itu menjadi sempit sedang kendaraan semakin banyak di kota ini. Bayangkan saja, lima ratus ribu bisa membawa motor gres dari dealer. Tak peduli bulan-bulan besok kepayahan dikejar-kejar setoran.

Jumilah memilih apel. Belum tentu setahun sekali dia makan apel. Pardi membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu itu kemahalan. Hanya terpaut sedikit dengan harga di supermarket. Di sana memang mahal karena butuh banyak biaya. Anehnya laku juga.

Sang penjual sedang menggerutu dengan peringatan pemda. "Nyari makan saja diuyak-uyak. Mbok mendingan ngasih duit buat betulin gerobak. Ini gerobak sudah reyot, mana bisa didorong-dorong?"

Pardi tidak ikut nimbrung. Dia sekadar mendengarkan. Laki-laki berkumis tebal yang menjadi teman bicara sang penjual buah menimpal, "Kalau saya kemarin jadi dewan, tidak bakalan seperti ini."

Pantas Pardi merasa pernah melihat orang itu. Pasti dari gambar-gambar reklame pemilihan DPR lalu.

Mata Jumilah berkaca-kaca.

Bulan masih terlihat samar.

*

Usai shalat ashar, Jumilah mengajak masuk warung kacang ijo. Kali ini sang istri yang makan. Pardi masih kenyang. Dia hanya memperhatikan pasangan penjual kacang ijo itu. Ditaksir baru dua puluhan usianya. Yang perempuan menimang anak balita.

Pardi belum punya anak. Istrinya sudah pernah hamil, tapi keguguran. Beberapa kali. Penjual itu sudah punya dua anak. Mereka kawin muda. Anak pertama diasuh nenek di rumah.

Cukupkah penghasilannya?

"Alhamdulillah bisa buat makan."

"Tidak pingin kerja jadi pegawai?"

"Nggak punya duit buat sogokan."

"Kan tidak boleh jualan di sini?"

"Udah telanjur banyak pembeli. Kalau pindah nanti malah sepi."

"Kalau kena razia...."

"Lillahita'alah, Pak....:

Istri Pardi berkaca-kaca. Pardi tahu kenapa. Tapi tidak berdaya. Di langit, bulan pucat, seperti mayat. Motor Pardi melaju lagi.

Beberapa meter, menyeberang jalan, Pardi berhenti. Dia memperhatikan aneka kerajinan tangan yang dihampar pada kain terpal. Dia membayangkan rumahnya, dan mengira mana yang cukup layak untuk hiasan perumahan sederhana miliknya. Yang angsuran kreditnya masih lama.

Kerajinan tangan itu tidak terlalu bagus menurutnya. Harganya memang murah.

"Buatan anak-anak, Pak."

"Anak-anak mana?"

"Tetangga. Sebagian putus sekolah."

"Putus sekolah?"

"Iya. Saya cuma ngumpulin mereka di sanggar. Silakan kalau mau main kapan-kapan. Ini alamatnya."

"Sudah lama?"

"Belum. Tadinya kerja di pabrik, di-PHK. Bangkrut."

"Laku?"

"Lumayan, Pak. Bisa buat ulur makan tiap hari. Tidak tahu nanti-nanti. Katanya sekarang tidak boleh di sini."

Air mata Jumilah merembes. Penjual kerajinan tangan memandangnya bingung.

"Tidak apa-apa, tadi kelilipan."

Bulan redup. Ada mendung. Angin berkesiut.

u

Usai shalat maghrib di surau kecil belakang pertokoan, mereka duduk- duduk di emper toko yang tidak buka. Tidak jauh dari penjual gorengan pitate-pisang, tahu, tempe. Hanya diam. Hanya kembara pikiran.

Malam ini bulan bertahta. Tapi muram.

Usai shalat Isya', Jumilah mengajak masuk ke warung mi ayam. Memesan dua porsi, satu tanpa saus. Pardi tidak suka saus. Tapi dia menambahkan banyak sambal cabai. Mukanya sampai memerah karena kepedasan.

Jalanan di depan kian ramai. Kian sesak. Nyala terang lampu mengalahkan sinar bulan. Bulan menyepi sendiri. Angin kian berkesiut. Tapi keramaian tak terhenti. Suara musik menghentak dari penjual CD bajakan. Mal di sisi jalan sana menarik orang bagai nyala lampu menarik laron.

Deretan kaki lima mengais sisa. Jika tidak di sini, lalu di mana? Sedang laron tak pernah mencari lampu mati. Pardi paham sekali. Dadanya ngiris sekali.

"Kita pulang saja, Mas."

"Tidak sampai malam?"

"Tidak kuat." Matanya sembab.

"Besok mereka sudah tidak ada."

"Nanti di rumah saja ngomongnya."

"Dosa aku...."

"Mas...."

*

Jumilah menangis sesenggukan sepanjang perjalanan pulang. Saat berhenti di lampu merah, beberapa orang di sekitar memandang aneh. Pardi tidak hendak menegur. Dia tahu Jumilah peka perasaannya. Itu juga yang membuat dia dulu suka. Lalu jatuh cinta. Jumilah tak pernah sayang menyedekahkan uang. Meskipun kehidupan mereka belum begitu lapang. Yang penting dada selalu lapang. Begitu pernah dia bilang.

Baru setelah sampai di rumah, air matanya menuumpah ruah. Meski tidak terdengar suara. Dan Pardi tahu memang begitulah istrinya. Ketika melihat televisi menayangkan penderitaan orang papa, dia menangis. Padahal, tayangan itu sudah direka-reka penuh drama.

Apalagi sekarang. Dia merasa menjadi bagian orang yang sering disewotinya. Orang yang sewenang-wenang pada kaum papa. Orang yang makan dari penderitaan orang.

Dada Pardi buncah. Di mejanya, tergeletak salinan surat ber-kop instansi tempat kerjanya. Besok ada razia di Jalan Kemakmuran. Sesuai perda nomor sekian tahun sekian. Atas dasar kebersihan, keindahan dan ketertiban.

Di bawah surat itu terbubuh tanda tangan. Dengan nama. Dan jabatan. Pardi Susanto, SE. Kepala Satpol PP.

Di langit, bulan merah. Hujan mengepung. Enggan beranjak. *
Dimuat di SUARA PEMBARUAN 20 Desember 2009

Cerpen
PUISI CINTA ISTRI
Oleh: Aveus Har


“Aku mencintai puisi.”

Jika mata bisa menyerukan kata, apa yang mataku serukan mendengar kalimatnya? Serupa Columbus ketika menemukan benua baru setelah pengelanaan panjang melintas samudra dengan keraguan akan penemuan telah menggelayut kah? Daratan adalah apa yang Columbus yakini ada di nun sana dan dia berjuang membuktikannya. Ia bersikukuh daratan itu ada meski semua orang meragukannya. Ia membuktikan dan namanya tertulis dalam sejarah. Columbus tegar tidak menyerah.

Dan wanita ini adalah apa yang dulu aku yakini tercipta di dunia ini untuk menemaniku. Yang bahkan waktu membuatku ragu. Lalu, ketika keyakinan goyah dan aku menyerah, wanita ini hadir menyesakkan sesal.

Dulu aku menganggap usia selaksa batas. Ketika semakin bertambah dan menua, aku merasa telah sampai batas pencarian dan mengakhiri perjalanan. Aku bukanlah Columbus yang tegar.

Wanita ini bernama Kinanti. Dia adalah jutaan kalimat indah yang terangkum membentuk puisi. Menggetar lewat tatapnya. Merasuk lewat tutur. Menggolak bersama gerak. Membuatku ingin sekejap pergi dari realita dan berharap bisa menemukan jalan mengulang waktu.

Aku menemukannya bersama desah kelu ‘andai saja’. Dalam sebuah kebetulan meski kuyakin ini bukan kebetulan semata. Ini adalah jawaban. Untuk sebuah keyakinanku yang telah menguap. Untuk menegaskan kepecundangan diri.

Gerimis yang menderas di suatu siang berwarna sephia. Di bawah awning toko perhiasan yang tutup di hari minggu. Dia menyendiri bersandar teralis. Menenang diri ketika orang lain ricuh dalam gegas-gegas tak ingin terjebak.

Aku tengah duduk menulis puisi di seberang jalan sejak mendung menggayut sebelum gerimis merinai dan hujan menderas. Bertirai rajutan air aku memandangi, dan meyakini dia memandangiku. Naluri menggerakkanku menyeberang meski hujan belum usai benar.

“Sedang apa kau?” Aku bertanya, dalam lantunan hasrat.

“Menunggu. Kau?” Dia balas bertanya, dengan kalimat pendek.

“Menulis puisi,” aku menunjukkan kertasku. Dan matanya berbinar. Dan alisnya bergerak. Dan dia meminta notesku. Mencermati baris-baris di lembar-lembar kumal. “Aku mencintai puisi,” katanya.

Saat itu aku merasa bertemu metamorfosis rusukku yang mustinya kutemukan pada suatu waktu saat merindu. “Benarkah?” tanyaku takjub.

“Ya. Puisi adalah kehidupan, dan kehidupan adalah puisi1,” ujarnya dengan mata syahdu yang memandangku sekilas.

“Dan engkau adalah puisi,” kataku.

“Kau juga,” balasnya dengan binar menguar. Membuatku alpa pada sinyal bahaya atas puisi hidupku. Aku laki-laki beristri. Tapi istriku tidak mencintai puisi. Baginya, hidup adalah apa yang mengalir tanpa perlu berumit-rumit mencari diksi. Kata cukuplah jika bisa dimengerti.

Aku meyakini puisi adalah jiwa diriku. Dan istriku bilang dia mencintaiku. Tapi dia tidak mencintai puisi. Bagaimana dia bisa mencintai gelas tanpa peduli isi?

Lalu bersamaku kini seorang Kinanti yang mencintai puisi. Menawarkan percakapan yang tak ingin kusudahi. Seperti anak kecil menemu teman bermain dan tak ingin pulang meski lapar mendera.

“Kau tahu apa yang kupikirkan?” tanyaku, mungkin meretas jalan untuk merayu. Aku tak tahu. Lama tak kuberkata seperti itu. Lama kalimatku mengikuti istriku: kata cukuplah jika bisa dimengerti.

“Tapi pikiran tak bisa didengar. Maka bicaralah2,” katanya, lagi-lagi mengutip baris puisi.

“Jika saja waktu ini adalah dulu.”

“Jika saja dulu adalah kini,” dia membalas sama bersayap. Kami sama-sama mengulum senyum. Dan begitu gerimis terhenti, kami pun bergandengan pergi. Menelusuri jalan dan berbincang indahnya puisi.

Waktu pun menghilang dalam putaran yang berhenti. Manusia menghitung waktu dari putaran bumi. Tapi saat ini bumi telah berhenti dan kehidupan benar-benar menjadi puisi. Dia bisa direka sesuka hati. Dia bisa di tata dari bait-bait diksi.

Tangan kami menaut kian erat memintas ruang dan waktu. Mata kami saling mengerling. Langkah kami seirama menaiki anak-anak tangga menuju ruang di atas awang.

Di luar langit masih berjelaga. Gerimis kembali turun dan menderas.
Kinanti bertanya tentang istri yang membuatku mendesah kelu dan menguak fragmen alam nyata. Dadaku perih terpilin sesal yang tak semestinya. Egoku menggeram menyembunyikan kesadaran.

“Dalam hidupku tak kujumpai wanita yang menyukai puisi sebelum ini,” ujarku. Tidak, batinku berteriak. Aku pernah menjumpainya, namun dia tidak menginginkanku. Aku pernah menjumpainya, namun dia memilih laki-laki lain. Yang sebenarnya adalah, aku tidak pernah menjumpai wanita yang mencintai puisi sekaligus yang menginginkanku mendampingi. “Dan aku menikahi istri karena waktu, dan kebodohanku yang meragu.”
Kehidupan bukanlah takdir. Hidup memang takdir, tapi kehidupan adalah pilihan. Sebagaimana mati adalah takdir namun kematian adalah pilihan. Rejeki adalah takdir sedang bekerja adalah pilihan. Dan jodoh memang lah takdir, tapi seorang istri, bagaimanapun, dia adalah pilihan. Dan aku telah memilih istri bertahun sebelum hari ini.

“Jangan katakan kau tak mencintainya,” mata Kinanti menuntut. Dan itu adalah mata batinku.

“Apa yang harus kukatakan?”

“Kau telah menikahinya.”

Batinku terpilin perih. “Wanita sepertimu lah yang kuinginkan dalam hidupku3.”

Sedang istriku, tidakkah aku menginginkannya dulu ketika kukatakan hendak menikahinya? Ketika kehidupan yang kupilih membawa kami bertemu. Ketika pertemuan kami membawa kesadaran akan kodrat. Manusia harus beranak pianak agar puisi hidup tidak berhenti.

“Kau telah menikahinya,” dia mengulang.

Kuteringat saat-saat itu. Ketika satu per satu teman yang seusia telah menikah, sebagian telah bermain bersama anak mereka, sementara aku masih belum menemukan gadis idaman. Lalu kubertemu seorang wanita, yang memberiku hari-hari menyenangkan. Yang bersamaku meniti hari bersama. Dia yang kemudian membuatku mengangguk saat bertanya akankah kami menikah.

Wanita itu, kini menjadi istriku. Menjadi ibu dari anak-anakku. Namun tak pernah bisa bersama menyelami untaian kata dalam puisi. Kehidupan lain yang kupunya dan kuhayati.

Kini, seorang wanita yang mencintai puisi, dan menginginkanku, kutemu saat hidupku tak lagi sendiri.

“Usiaku makin menua diambang batas,” keluhku, bersama petir yang menggelegar.

“Pernikahan tidak dibatasi usia. Kau tak akan menikahinya jika kau tidak menginginkannya.”

Untuk alasan apapun, aku memang menginginkannya. Kelebihan istriku kelewat banyak untuk selembar kertas A4. Ia adalah mahluk multisel dengan rambut gemerisik, yang malam hari, bila ia tidur, berbiak dengan anggun4.

Yang tak pernah bisa kumengerti adalah selalu masih ada rindu untuk sesuatu yang tidak istriku miliki. Dan Kinanti memilikinya.
Karena dia mencintai puisi.

Berpuluh tahun waktuku sebelum bertemu Kinanti, selaksa memori yang akhirnya bertepi. Memberi sela untuk menyisipkan sebait puisi di tengah hujan dan langit yang kelam. Kurengkuh Kinanti seperti bocah merengkuh mainan yang selalu membayang di pelupuk dan akhirnya bisa memiliki.

Tapi tak bisa aku seutuhnya memiliki. Dia hanyalah sebait puisi. Dia ada karena aku menautkannya dalam benak. Karena aku membawanya serta di labirin otak. Dia tertinggal di sana, bertahta, masih dengan senyum dan binar mata yang menggoda.
Mata kami beradu dalam pijar birahi. Menggulung dalam desah napas. Mencabik-cabik kesadaran. Aku terhanyut dan kian alpa. Siapa aku, siapa dia. Yang ada kini jiwa yang dahaga dan menemu oase di padang pasir kehidupan.

Dalam ruang di atas awang, di antara gerimis yang melebat dan waktu yang terhenti, aku menyibak kain dan mendekap. Berbisik puisi dan menjalin puisi. Saling mengetuk, saling memasuki5.

Penghianatan Adam atas sabda Tuhan-Nya membuat dia diturunkan ke bumi. Dan penghianatanku ini, menebar rasa perih mengusik nurani.
***

Goncangan perlahan menggoyang tubuhku. Aku masih memeluk Kinanti. Yang kini menjelma menjadi guling basah oleh keringat. Dan jutaan sperma berenang tanpa menemu labuhan hingga mati tercecer di selangka.

“Sudah siang, Mas. Katanya hari ini ada kapal hendak berangkat?” kata istriku, dalam waktu yang kembali mengada setelah terhenti di putaran mimpi. Dan ruang kembali menyekat setelah menisbi.
Aku kembali dalam puisi hidupku yang harus kurajut. Karena sesungguhnya aku telah menjadi kata dalam puisi hidup bersama istri dan anak-anak yang tidak mencintai puisi.

Tapi aku tak ingin merusak puisi hidup kami dengan memaksa Kinanti hadir senyata. Meski ia masih hidup di relung labirin benak, aku tak pernah bertemu lagi dengan Kinanti dan tak pernah mencari. Perbincangan bersamanya hanyalah imaji. Waktu yang terselam berdua dalam birahi hanyalah mimpi. Bahkan namanya pun kureka sendiri.
Yang ada, wanita itu pergi setelah sebuah mobil menghampiri. Yang ada, perkataan terakhirnya sebelum pergi adalah: “Aku mencintai puisi.”
***
00:22 waktu rumah imaji: untuk seseorang yang mengajakku berpuisi.
Umbu Landu Paranggi, dalam esai Wayan Sunarta.
Rondeau, Hans Magnus Enzensberger, diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono.
Kalimat ini pernah kutemui entah di mana.
Kelebihan Istriku, Hans Magnus Enzensberger, diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono.
Di dalam Hujam, Abdul Wachid B.S..
Dimuat di KEDAULATAN RAKYAT BISNIS 13 Desember 2009

ETOS KEWIRAUSAHAAN

TELAAH


ETOS KEWIRAUSAHAAN
Oleh: Aveus Har


Ada tiga pilihan bagi lulusan sekolah. Pertama adalah melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Pilihan ke dua menjadi karyawan di instansi negeri atau swasta. Terakhir, pilihan yang lebih karena tidak bisa memilih dua sebelumnya, adalah menjadi pengangguran ‘terhormat’.
Ironis memang. Kenyataannya, lulusan sekolah tidak melirik pilihan lain di luar ketiga pilihan tersebut yakni menjadi wirausahawan. Membayangkan seorang sarjana berjibaku dengan gerobak bakso misalnya, terasa sebagai mimpi yang mengerikan. Yusran Pora (2004) menulis bahwa kita lebih cenderung mengejar status alih-alih kemandirian.
Peserta didik di sekolah (dasar sampai tinggi) memang cenderung mengajarkan kita menjadi karyawan. Padahal negara tahu bahwa menyediakan lahan pekerjaan untuk semua lulusan sekolah yang membanjir adalah kemustahilan. Maka, ketika tiba saatnya para peserta didik lulus, berbondong-bondonglah mereka menuju Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) untuk mendapatkan kartu kuning. Dan berlembar-lembar ijasah dipotokopi, dilegalisir, dikirim ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan kerja.
Jika ada 300 pelamar untuk satu posisi karyawan yang lowong, bagaimana nasib 299 lainnya? Menunggu ada lowongan lain, dengan penuh harap ijasah ‘pendidikan terakhir’ yang telah dicapainya akan memberinya pangkat/jabatan di lain waktu atau lain tempat.
Gambaran ini terasa akrab di lingkungan kita. Atau bahkan membuat kita tersenyum giris karena kita tahu ada yang salah dengan pola pikir namun tidak berani mendobrak paradigma lulusan sekolah tersebut.

Budaya Wirausahawan
Melongok ke Taiwan, banyak produk-produk mereka yang membanjiri pasar Indonesia. Produk-produk tersebut bukan berasal dari pabrik-pabrik besar melainkan dari Usaha Kecil Menengah (UKM). Di negeri ini lebih dari 90% perusahaannya merupakan UKM. Bagaimana bisa sehebat itu?
Taiwan berkembang dengan suatu kebudayaan bisnis dalam masyarakatnya. Kewirausahaan adalah jiwa orang Cina. Mereka lebih bangga menjadi wirausahawan daripada menjadi pegawai/karyawan. Ini berkebalikan dengan Indonesia.
Barangkali, kita memang telah terbiasa dijajah sehingga budaya yang menjadi jiwa kita adalah budaya masyarakat terjajah. Mental kita adalah mental abdi. Ironisnya, sekolah yang sepatutnya menjadi lokomotif perubahan, justru membudidayakan jiwa abdi ini bagi peserta didiknya. Paradigma ‘lulus dengan nilai bagus dan dapatkan pekerjaan yang baik’ merupakan akumulasi pengertian pintar di sekolah. Tak berlebihan jika banyak pakar kewirausahaan menyeru untuk keluar dari sekolah.
Sayangnya, keluar begitu saja dari sekolah tidak menyelesaikan masalah jika paradigma yang tertanam tidak berubah. Menjadi wirausahawan membutuhkan karakter dan pola pikir yang berbeda dari apa yang telah didapat di sekolah.
Belum terlambat bagi kita untuk mengubah pola pikir tersebut. Pendidikan sekolah dasar merupakan awalan dari rangkaian jenjang pendidikan ke depan. Namun kita tahu, banyak peserta didik yang hanya bisa mengenyam pendidikan dasar dalam hidupnya. Demikian maka memberikan pendidikan kewirausahaan mulai sekolah dasar adalah sarana yang tepat untuk mulai menanamkan etos kewirausahaan.
Kewirausahaan bukan sekedar ilmu hapalan. Maka ketika memasukkan Pendidikan Kewirausahaan ke dalam kurikulum sekolah dasar, ada yang harus berubah pada paradigma sang pengajar. Benar dan salah bagi ilmu kewirausahaan bukan harga mati sebagaimana ilmu eksakta. Pengajar pendidikan kewirausahaan dituntut untuk lebih kreatif, inovatif dan terbuka.
Pendidikan Kewirausahaan ini pada gilirannya akan menjadikan peserta didik menjadi pelajar yang tangguh, bukan robot yang hanya bermental program. Mereka akan menjadi orang yang berani mencoba, mencari peluang baru, terbuka pada kritik dan saran.
Kalaupun kelak menjadi pegawai/karyawan (karena bagaimanapun dunia usaha membutuhkan karyawan), mental kewirausahaan yang dimiliki peserta didik akan dapat menunjang kemajuan perusahaan dengan semangat dan kreatifitasnya. Jikalaupun kelak tidak ada yang bersedia menjadi karyawan, kita bisa mengimpor tenaga kerja dari negara lain alih-alih mengimpor produk dan mengeskpor buruh ke sana. Kita bukan lagi menjadi negara konsumtif melainkan produktif.
Sebagai sebuah karakter, kewirausahaan terbentuk dalam waktu yang panjang. Memberikan pendidikan kewirausahaan sejak sekolah dasar merupakan pondasi yang bijak untuk mempersiapkan generasi mendatang menghadapi tantangan jaman. Ini bukan perkara mudah. Namun serumit apapun, selalu ada jalan jika kita bersedia mencarinya dan tidak takut akan perubahan.
Karena jika takut akan perubahan, untuk apa waktu berjalan?
***


AVEUS HAR,
Penulis adalah pengamat masalah sosial di Sintren Institute dan penggiat di Komunitas Rumah Imaji Pekalongan

Dimuat di KEDAULATAN RAKYAT BISNIS 1 November 2009

BERCERMIN PADA AIR SUNGAI

FORUM
dimuat di kompas jateng edisi 28 september 2009



Bercermin pada Air Sungai

Oleh: Aveus Har



Air sungai yang jernih niscaya bisa menjadi cermin. Kita bisa melihat bayangan diri yang terpantul dari permukaan air tersebut. Namun, di Pekalongan, air sungai sebagai cermin tidaklah harus jernih. Karena dari ketidakjernihannya itulah geliat perekonomian warga Pekalongan bisa tercermin.
Adalah masalah klasik yang sudah menahun. Anekdot ‘tak harus ke Dieng untuk menyaksikan Ttelaga Wwarna’ telah menjadi lelucon yang tidak lagi lucu. Warna-warni air sungai di Pekalongan adalah warna-warni limbah batik yang berbahaya. Ditengarai kandungan limbah tersebut berpotensi mengakibatkan kanker.
Limbah yang mencemari sungai Pekalongan berasal dari pabrik besar dan industri kecil. Pengawasan pabrik besar cenderung lebih mudah karena keberadaan mereka terdata. Pemkot Pemerintah Kota Pekalongan harus bisa bertindak tegas pada terhadap pabrik besar yang belum mempunyai Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) maupun yang telah memiliki namun tidak melaksanakan pengolahan dengan semestinya. Namun, bagaimana dengan keberadaan industri batik kecil?
Pemerintah kotaPemkot Pekalongan memang telah berupaya keras dalam mengatasi pencemaran sungai dari industri kecil ini termasuk dengan pembuatan Unit Pengelolaan Limbah (UPL) di Kelurahan Jenggot. Meskipun disinyalir belum memadai karena limbah dari industri batik lebih besar dari kapasitas UPL, langkah tersebut akan menjadi sia-sia jika pola berpikir pengusaha kecil belum diarahkan dalam pemeliharaan lingkungan hidup.
Membangun pola pikir (mindset) pengrajin/pengusaha batik yang berwawasan lingkungan inilah yang akan kita urai dalam tulisan pendek ini.

Batik adalah Hidup
Meskipun di banyak kota lain (Solo, Jogja, maupun pesisir lain seperti Cirebon, Lasem, Sidoarjo) mempunyai industri batik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Pekalongan terkenal sebagai ‘pemilik’ batik. Batik tidak hanya menjadi slogan yang merupakan kependekan dari Bersih, Aman, Tertib, Indah dan Komunikatif, tetapi telah menjadi ‘hidup’ masyarakat Pekalongan. Hal ini dikarenakan batik menjadi sumber ekonomi sebagian besar masyarakat Pekalongan yang bisa dilihat dari banyaknya masyarakat warga yang bekerja dalam proses produksi batik, baik itu menjadi buruh maupun juragan batik.
Di Pekalongan terdapat ratusan industri kecil batik. Sebagian industri kecil tersebut menerima order dari industri yang lebih besar untuk mengerjakan sebagian proses pengerjaan batik. Banyak industri kecil ini yang mengerjakan pewarnaan secara turun temurun. Sebagian besar industri kecil batik ini membuang limbahnya ke sungai. Para pengrajin kecil ini seolah tidak peduli akan dampak pencemaran meskipun mereka tahu air sungai di dekat rumah mereka (atau air selokan depan rumah) berwarna pekat dan berbau menyengat.
Menyalahkan tindakan pengrajin kecil batik ini bukanlah sebuah langkah bijak. Hal yang patut dipikirkan adalah mengapa mereka tidak mempedulikan dampak tersebut itu? Rata-rata pengusaha batik kecil ini mengejar kuantitas garapan mereka. Hal ini terjadi karena pola pikir pengrajin perajin batik kecil di Pekalongan masih sebagai buruh yang kejar setoran. Budaya persaingan antarsesama pengrajin perajin adalah mengejar kuantitas sebesar mungkin dengan harga serendah mungkin. Dengan paradigma semacam ini, susah diharapkan para pengrajin batik kecil untuk memikirkan dampak limbah buangan mereka.
Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk melihat lebih jelas permasalahan tidak sehatnya persaingan pengrajin batik kecil di Pekalongan. Namun, dari pengejaran kuantitas tersebut bisa kita dapatkan gambaran bahwa budaya bisnis para pengrajin perajin kecil ini menyumbang rangkaian sebab tercemarnya sungai dari limbah batik.
Dalam ranah ini, sangat dibutuhkan peran serta pemerintah lewat dinas perindustrian dan usaha mikro kecil dan menengah untuk memberikan bimbingan dan pengarahan agar tercipta budaya persaingan industri yang sehat.

Masyarakat religius
Masyarakat Pekalongan adalah masyarakat religius. Meski demikian, ketaatan masyarakat dalam menjalankan agamanya masih dalam tataran benar-benar percaya pada agama (Islam). Hal ini tampak dari banyaknya tempat ibadah dan ramainya kegiatan keagamaan semacam pengajian dan majelis taklim.
Sementara itu di luar ibadah ritual dan kegiatan keagamaan, masyarakat religius di Pekalongan ini belum menampakkan wujud yang optimal. Ajaran an nadhafatu minal iman belum mewujud dalam perilaku menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Tokoh-tokoh agama (Islam) menjadi panutan dalam masyarakat Pekalongan. Bahkan, kata-kata mereka lebih ‘”didengar”’ daripada pamong praja. Di berbagai mushola mushala maupun majelis taklim sering diadakan pengajian. Hal ini kiranya bisa menjadi salah satu cara menanamkan pola pikir berwawasan lingkungan hidup. Para tokoh agama ini bisa dioptimalkan peran sertanya. Peran serta para tokoh agama ini bisa dioptimalkan.
Lewat pengajian yang menjadikannya sebagai penceramah ataupun lewat majelis-majelis, beliau-beliau ini seyogyanya seyogianya memberikan pula anjuran dan arahan bagaimana masyarakat harus menjaga lingkungan sekitar terutama sungai dan selokan dari pencemaran limbah. Untuk itu, diperlukan koordinasi yang melibatkan para pemuka agama ini dalam menciptakan pola pikir sadar lingkungan sebagai bagian dari ibadah.

Budaya malu
Anekdot yang tidak lagi lucu di awal tulisan ini adalah bukti rendahnya budaya malu masyarakat pengrajin perajin batik di Pekalongan. Bahkan, jika terjadi keluhan tetangga yang air sumurnya tercemar, sebagian pengrajin perajin memilih pura-pura tuli. Terkadang tetangga tidak berani mengeluh karena pengrajin perajin tersebut adalah orang yang banyak menyumbang banyak untuk pembangunan sarana lingkungan. Hal ini karena budaya ewuh pakewuh yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dengan mengoptimalkan peran pemuka masyarakat, pendidikan ‘tahu malu’ ini seyogyanya seyogianya ditanamkan dalam masyarakat. Cara mencari nafkah adalah hak tiap orang, namun mencemari lingkungan adalah kezaliman.
Demikianlah, maka mengharapkan sungai Pekalongan tidak lagi tercemar adalah keniscayaan di masa yang akan datang. Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) hanyalah salah satu pemegang peranan dalam mengawasi dan mengendalikan limbah di sungai. Membangun pola pikir pengrajin perajin berwawasan lingkungan memerlukan kerja yang terkoordinasi dari instansi lain, tokoh agama, pemuka masyarakat, dan peran serta seluruh warga terutama sepanjang alur sungai untuk menumbuhkan budaya malu.
Di samping itu juga dibutuhkan kerja sama lintas pemerintahan karena sungai yang membelah kota Pekalongan sebelumnya juga melintasi kabupaten Pekalongan. Dan wilayah kabupaten Pekalongan di sepanjang aliran sungai pun banyak pengrajin perajin batik.
Kelak, kita masih bisa bercermin pada sungai Pekalongan. Jika sungainya berwarna, itu pertanda masyarakat belum sadar lingkungan. Jika jernih, itu pertanda masyarakat telah sadar lingkungan. Dan industri batik terus berkembang dalam kondisi persaingan yang sehat.
AVEUS HAR,
Penulis adalah pengamat masalah sosial di Sintren Institute dan penggiat di Komunitas Rumah Imaji Pekalongan

Rabu, November 11, 2009

MATI? TIDAK, KRI MASIH HIDUP

Ya. Sebagai sebuah organisasi, mungkin KRI perlu berbenah. Namun tentu saja itu butuh waktu, dan pembelajaran. Masa yang telah lewat adalah pembelajaran. Dan mengambil pemberlajaran atas tersendatnya jalan organisasi, maka dewan pimpinan mengambil kebijakan penting:

1. KRI tetap sebagai wadah terbuka, tanpa ada formalitas keanggotaan.\
2. Tujuan KRI adalah menjadi BERANDA bagi siapa saja yang ingin berbincang tentang dunia penulisan kreatif. Maka, sebagai beranda, KRI tidak membatasi siapa saja yang bertamu asal dengan itikad baik utk maju bersama dalam berkarya.
3. Yang penting adalah Karya. Pertemuan tidak penting karena era cyber dan sms bisa menjembatani pertemuan.
4. KRI boleh mengadakan kegiatan yang meminta 'sumbangan dana' utk pelaksanaannya, karena KRI tidak mempunyai donatur tetap.

KRI akan mengambil langkah yg perlu demi kita tetap berkarya. Bukan seremonial semata.

salam,

Dewan Pimpinan KRI
kOORDINATOR

AVEUS HAR

Selasa, Agustus 04, 2009

pengumuman kematian KRI


AKHIRNYA MATI JUGA….


Berita ini menyedihkan,
Tapi juga melegakan….

Baiklah, kematian adalah suatu titik dimana masa hidup itu berakhir. Semua orang lebih menginginkan hidup dari pada mati tapi seringkali tergeragap ketika ditanya “untuk apa kehidupanmu?”

Ah, ya… kau bisa menjawab kehidupanmu untuk beribadah kepada Dia yang menciptakanmu. Tapi jika kau bersungguh-sungguh, benarkah itu yang kau inginkan atau sekedar karena kalau tidak menjawab seperti itu maka kau akan dianggap tidak religius?

Baiklah, ini bukan tentang kau, atau aku. Ini tentang sebuah wadah bernama KRI. Yang sekarang telah mati. Dan kita tidak perlu mengenangnya seperti kematian-kematian orang-orang terdekatmu. Karena KRI bukan apa-apa, dan memang ada untuk tdk menjadi apa-apa.

Untuk apa KRI hidup? Tidak untuk apa-apa selain kepongahan bahwa kita punya visi, punya misi, punya tujuan tapi tidak punya tindakan dan semua itu omong kosong. KRI adalah kepongahan seorang ave yang merasa bahwa ada banyak teman-teman lain yang ingin bersama saling berbagi, saling menyemangati, saling belajar…. Kepongahan itu terbukti tak ada yang mau mengisi blog KRI yang sedianya untuk saling berbagi bersama, tak ada yang mengajak bertemu untuk saling bercerita, tak ada yang bertanya berapa karyamu yang kau tulis bulan ini, dikirim ke mana, bagaimana kabarnya, ada informasi apa….

Yang ada hanya batu.
Batu-batu yang diam membeku di ujung waktu.
Berharap keajaiban memecah seperti ketuban.
Dan lahirlah ia: kata-kata yang menjelma dalam tautan.

Kematian ini sobat, kuceritakan karena seperti tadi kubilang, meskipun menyedihkan, namun kematian adalah melegakan. Karena ini berarti ave menyadari kepongahannya. Karena ini berarti dia tahu imajinasi ada dalam kepala-kepala yang tak perlu dikumpulkan. Imajinasi biarkan berkelana sendiri-sendiri tanpa perlu mengusahakan ruang untuk bercengkrama karena ia bebas dan merdeka dan tak perlu saling menyapa kecuali sama menginginkan dan jika tidak ada yang menginginka menyapamu atau kau sapa kau tidak perlu gusar apalagi marah karena KAU BUKAN SIAPA-SIAPA. Kesadaran ini melegakan dan aku hanya perlu menulis apa saja sekedar untuk mengisi blog ini tanpa perduli apakah ini sesuai dengan KRI atau tidak karena blog ini memang semacam rumah suwung dan aku sendirian menghuninya.

Kematian ini melegakan karena aku yakin, dengan matinya KRI akan tumbuh kreatifitas kita yang tidak lagi terbelenggu tetek bengek entah teteknya siapa yang bengek tapi organisasi membuat tetek-tetek kita jadi bengek.

Jadi marilah kita ikrarkan kematian KRI ini dengan sebuah sumpah: “Aku bisa kehilangan kreatifitas dengan kematianku, tapi tidak dengan kematian KRI”.

Aku—sungguh—masih sangat ingin membaca karyamu. Kabari aku jika karya-karya teman-teman yang pernah menyempatkan diri menemani ave bercengkrama di KRI dimuat di media.

Jika kreatifitas kita mati juga, itu sangat tidak melegakan, tapi menyedihkan.
Dan ironis.
Karena kita berpikir kita bisa kreatif dalam jalan sepi.
Tapi sepi juga—meminjam lagu slank—yang membunuh kita.
Jadi,
Apakah engkau mati atau hidup, kau yang tahu.

Sabtu, Maret 21, 2009

BOLA SALJU PENULISAN KREATIF PELAJAR PEKALONGAN


BOLA SALJU PENULISAN KREATIF PELAJAR PEKALONGAN

Oleh : Khopipah
Divisi Produksi Forum Lingkar Pena (FLP) Pekalongan

Dalam suatu kesempatan silaturahmi Budi Maryono ke Komunitas Rumah Imaji (KRI) 16 November 2008 lalu, lagi-lagi tampak saling lempar tanggung jawab atas kegagalan pelajaran menulis di sekolah. Adalah Dra. Sri Kusmaniyah, guru Bahasa Indonesia SMA N 1 Kajen yang ‘menangkis’ dakwaan bahwa guru bertanggungjawab atas kegagalan pelajaran ini.

“Sebetulnya kami ingin mengajarkan sastra yang baik, karena dalam kurikulum juga ada bagaimana menulis puisi juga cerpen. Tapi durasi belajar di sekolah hanya dua jam setiap pekan. Bagaimana mungkin dalam waktu dua jam itu anak-anak bisa menyelesaikan 1 buah cerpen misalnya. Belum lagi tuntutan sekolah, yang harus mengejar materi-materi ujian nasional. Kami sebagai guru akan dianggap gagal juga jika banyak yang tidak lulus UAN.”

Begitulah. Dan akan selalu begitu jika polemik seperti ini dilanjutkan. Maka adalah hal yang positif ketika KRI bereaksi dengan sebuah tindakan: menerbitkan buletin penulisan kreatif yang dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah.

Buletin ini boleh dibilang sebagai tindak lanjut penerbitan Bunga Rampai sastra remaja dan pelajar “CIKAL", sebuah kumpulan cerita pendek dan puisi yang ditulis oleh para pelajar dan remaja di wilayah Kabupaten Pekalongan pada April 2008. Adi Toha dalam wacana lokal telah mengupas kekurangan dan kebaikan penerbitan ini (SM 24 Juni 2008).

Sebagai sebuah buletin penulisan kreatif, buletin bernama sama—CIKAL—ini mungkin tidak akan bisa berbuat banyak dalam mengatasi kekurangmampuan siswa dalam menulis kreatif. Namun setidaknya, ini adalah bola salju kecil yang digulirkan KRI dengan harapan akan menggumpal dan membesar.

Secara fisik, buletin ini teramat sederhana. Hanya bentuk fotokopian lima halaman HVS yang dilipat menjadi dua sehingga menghasilkan 20 halaman buletin. Penataan layoutnya pun masih terkesan amatir. Namun justru lewat kesederhanaan fisik itu menjadi pertanda bahwa KRI berani melangkah dengan langkah kecil tanpa harus menunggu kesiapan untuk mampu melangkah yang lebih besar.

Meski sederhana, buletin ini lumayan memberikan pencerahan bagi pembelajaran menulis siswa. Untuk edisi perdana yang diedarkan awal bulan Maret ini buletin menampilkan wawancara dengan seorang penulis Pekalongan, NR. Ina Huda. Ini seolah menyadarkan pada pelajar Pekalongan bahwa ada penulis senior yang bisa digali ilmu dan pengalamannya di sekitar mereka.

Buletin ini juga menampilkan bedah karya puisi dari siswa, tips menulis cerpen dan juga kelas menulis. Dari isinya, tampak bahwa buletin ini—sebagaimana diungkapkan di pengantar redaksinya—ditujukan sebagai wadah saling berbagi (share) karena kegiatan kreatif dengan bertatap muka seringkali sulit dilakukan karena halangan individu.

Yang menarik dari buletin edisi pertama ini adalah ajakan untuk mensupport pendanaan dengan menjadi sponshorship/donatur. Dan di halaman belakang, tercantum pemberi dana untuk edisi perdana ini yang jumlahnya tidak seberapa.

Hal ini menarik untuk dikaji, karena sebagai sebuah komunitas, KRI tidak memiliki donatur tetap bagi kegiatan-kegiatannya. Karena itu untuk edisi perdana ini hanya sanggup mendistribusikan ke sebagian kecil organisasi remaja dan sekolah menengah di Pekalongan dan sekitarnya saja.

Ini tampaknya yang kelak akan menjadi pertaruhan, apakah KRI sanggup mendapatkan dana penerbitan kelanjutannya ataukah tidak dibandingkan dengan apakah KRI sanggup memberikan materi buletin yang berkelanjutan. Karena secara KRI adalah komunitas penulis dan peminat dunia menulis kreatif, saya yakin materi isi buletin tidak akan banyak mengalami kendala. Namun bagaimana dengan dana penerbitannya?

Sanggupkah KRI?

Atau pertanyaan yang lebih tepat lagi, adakah pihak-pihak lain yang siap menyambut bola salju kecil ini dan menggumpalinya hingga membesar sehingga memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan kemampuan menulis pelajar Pekalongan?

Jika kemudian bola salju kecil ini akan terhempas ke dasar lembah dan pecah berkeping, aduh sungguh sayangnya. Maka tak ada gunanya polemik dan mencari kambing hitam dalam kegagalan pelajaran menulis di sekolah. Lebih baik bersama saling mensupport untuk memberikan solusi bagi permasalahan tersebut.
***

Selasa, Maret 10, 2009

LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN

LOMBA KARYA TULIS PEMUDA TINGKAT NASIONAL dan PENGHARGAAN UNTUK
PENULIS ARTIKEL KEPEMUDAAN

Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI bekerja sama dengan Forum
Lingkar Pena menyelenggarakan Lomba Karya Tulis dan Penghargaan untuk
Penulis Artikel Kepemudaan.

Persyaratan Lomba Karya Tulis:
1. Naskah berbentuk "esai" dengan tema "Kepemimpinan Pemuda".
Peserta dapat memilih salah satu dari sub-sub tema berikut):
a. Pemuda di Kursi Kepresidenan Indonesia
b. Pemimpin Muda Idaman.
c. Menjadi Pemimpin di Era Krisis Global.
d. Mencari Wadah Pencetak Pemimpin Bangsa.
e. Menjadi Pemimpin Lokal Berpikiran Global.
f. Jika Perempuan Menjadi Pemimpin Indonesia.
g. Budaya Baca Calon Pemimpin Bangsa.

2. Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
3. Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
4. Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur
pornografi.
5. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
6. Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik
dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
7. Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas
A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
8. Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
9. Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar
naskah
10. Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).

Persyaratan Penghargaan Penulis:
1. Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Oktober 2008
- April 2009 yang bertema Kepemudaan.
2. Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak
tiga rangkap.
3. Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)
4. Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur
pornografi.
5. Mencantumkan "Penghargaan Penulis" di sudut kiri amplop.

Persyaratan Teknis :
1. Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri
(KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat
lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail). Untuk pengiriman email,
identitas diri dapat discan (dengan resolusi secukupnya).
2. Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke:
Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis
Jl. Rasamala Raya No 20 Depok Timur 16418
Naskah lomba juga dapat dikirim melalui email: lomba.menpora@ gmail.com
(identitas diri dapat discan).
3. Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 5 Mei 2009

HADIAH setiap kategori dan Penghargaan Penulis:
Juara I: Rp2.500.000, -
Juara II: Rp2.000.000, -
Juara III: Rp1.500.000,
3 pemenang hiburan @ Rp500.000,-

* Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlin gkarpena. net
dan http://forumlingkar pena.multiply. com pada 1 Juni 2009.

Acara ini diselenggarakan oleh :
Deputi Pengembangan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan
Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena

Didukung oleh: ANNIDA & Lingkar Pena Publishing House

Keterangan lebih lanjut hubungi
Maryati (021) 573 8158, HP: 085813144822
Koko 0813 67675459
Denny 0899 9910037

Rabu, Maret 04, 2009

RUMAH KITA Materi ke dua kelas menulis dasar FLP Pekalongan)

RUMAH KITA Materi ke dua kelas menulis dasar FLP Pekalongan)

Suatu ketika saya berdiri di depan sebuah rumah milik orang lain. Dari luar, saya membayangkan apa dan bagaimana isi rumah itu. Mungkin kamu juga pernah mengalaminya? Ya, kita membayangkan karena kita tidak tahu dan hanya melihat dari luarnya saja.

Kemudian sang pemilik rumah mempersilahkan saya masuk dan melihat segenap isi rumah. Ketika masuk itulah apa yang saya bayangkan semula bisa jadi berbeda dengan apa yang terhidang di hadapan saya. Dan seringkali memang itu yang terjadi. Meski pun pada akhirnya sering kali pula saya akhirnya bisa menduga seperti apa dan bagaimana isi rumah orang setelah sekian lama mengalami hal serupa. Berdiri di depan rumah, dipersilahkan masuk dan melongok semuanya.

Pernahkah kamu dipersilahkan masuk ke rumah orang?

Ketika masuk ke rumah orang itu lah aku melihat benda-benda yang bagus. Mungkin meja yang berukir indah, kursi beludru yang berornamen macan, tangga yang meliuk. Tapi saya seringkali merasa ingin mengubah sesuatu di dalamnya. Kadang saya merasa karpetnya kurang pas dengan pilihan warnanya. Kadang merasa andai saja ada pot bunga di sudut sana. Kadang merasa kalau ini rumahku akan aku pugar sekat dua ruangan ini agar lebih leluasa.

Begitulah. Dan ketika aku keluar dari rumah itu lalu bertemu dengan teman, aku menceritakan tentang rumah itu. Menceritakan tentang apa dan bagaimana isi dalam rumah itu. Menuturkan hal-hal apa yang aku suka dan yang kuingin mengubahnya jika saja ini adalah rumahku.

Maka begitu lah tugas teman-teman peserta kelas menulis dasar yang saya ampu saat ini. Kita berdiri di depan sebuah rumah orang lain: rumah yang kita sebut karya (cerpen, puisi, artikel, buku). Kita masing-masing telah memasuki rumah itu dan telah keluar. Sekarang tugasnya adalah menceritakan tentang rumah (baca: karya) orang yang telah kita baca.

Berpijak dari situlah tugas untuk dikerjakan dirumah saya berikan. Tugas yang saya sebut imitating. Tulislah karya orang itu dengan kata-kata kita, dengan inovasi kita, dengan bahasa kita sebagaimana kita berandai-andai ingin membangun rumah dan memberikan perabot dalam rumah kita ketika memasuki rumah orang lain.

Tapi jangan dulu kirimkan tulisan kita ke media. Ini hanya sekedar sarana berlatih kita. Sampai ketemu bulan depan.

Salam,
Aveus har

Selasa, Februari 10, 2009

Bungkus dan Isi: materi kelas menulis dasar 1

Bungkus dan Isi

Ini adalah materi pertama yang saya sampaikan di pertemuan pertama kelas menulis Forum Lingkar Pena (FLP) Pekalongan (8/2/09). Dengan berpijak pada tugas membuat surat, saya mencoba menguraikan tujuan kita menulis.

Surat adalah sebuah bentuk komunikasi tertulis di mana ada empat komponen di dalamnya, yakni penuju (penulis surat), tertuju (penerima surat), pesan (isi surat) dan gaya/teknik penulisan (bungkus surat). Apa sih tujuan kita menulis surat? Jawaban yang diberikan peserta kelas menulis adalah:
1. Menyampaikan isi hati
2. Memberikan kabar
3. Menyampaikan sesuatu yang ingin kita sampaikan
4. Mengekspresikan kata-kata.

Pada intinya, rata-rata menganggap bahwa tujuan kita menulis surat adalah menyampaikan sesuatu.. Misalnya, kerinduan seorang adik kepada kakaknya, kabar tentang hari-hari saat banyak tugas sekolah, dan lain-lain. Namun Jika hanya sekedar menyampaikan sesuatu (pesan), kenapa kita harus mengemasnya sedemikian rupa?

Jika sekedar menyampaikan kerinduan, kenapa kita tidak menuliskan: kak, aku rindu kamu. Cukup, dan tidak perlu berpanjang-panjang. Ini karena sesungguhnya kita menulis surat bukan sekedar menyampaikan sesuatu; melainkan menyampaikan sesuatu dengan efek (rasa) yang kita inginkan. Kita menginginkan pembaca surat merasakan suasana hati dan perasaan kita ketika kita menulis. Sehingga tertuju mendapatkan pesan itu dengan efek tertentu, misalnya keharuan.

Makanya mungkin saja kita menulis:
Detik-detik yang bergerak merangkai waktu kian membatukan rasa ingin bertemu. Tiap saat kuhitung angka yang tanggal pada kalender di meja belajarku, benak melayang pada apa yang tengah kau lakukan di sana. Betapa hari tanpamu terasa mati….

Begitulah. Sehingga penting bagi kita membuat tulisan dalam rangkaian kata sedemikian rupa agar efek yang kita inginkan mengena.

Fungsi bungkus sama seperti bungkus makanan. Bayangkan sebuah makanan ringan (snack) dengan bungkus warna-warni dan makanan tradisional yang hanya berbungkus daun. Mana yang lebih menarik bagi anak kecil yang menjadi tertuju produk tersebut?

Kita tahu kemasan begitu penting untuk membungkus isi pesan yang ingin kita sampaikan. Karenanya kita belajar teknik menulis untuk membungkus pesan kita. Baik lewat puisi, cerpen maupun artikel.

Karenanya, di samping sebuah gagasan isi tulisan kita, yang harus kita pikirkan dan renungkan adalah gagasan bungkus tulisan kita. Cara penyampaian kita. Teknik dan gaya penulisan kita.

Mempelajari teknik dan gaya penulisan bisa kita lakukan dengan membaca karya orang lain. Sebagai pembaca kita melakukan: mengupas bungkus à menikmati isi. Tugas pertemuan depan adalah kita membicarakan bungkus dan isi karya yang menarik bagi kita. Bisa berupa puisi, cerpen atau artikel karya orang yang sudah diakui (dimuat di media massa).

Selamat belajar,
Salam kreatif,


Aveus Har
Koordinator Komunitas Rumah Imaji
Instruktur penulisan dasar kelas menulis FLP Pekalongan

**Sebuah sms saya dapatkan dari Khomsi, 19 pada 9 Februari 2009 18:44:
selamat malam, saya ingin bertanya, anda dapat inspirasi membuat cerpen dari mana?dan cara membuat cerpen berkualitas bagaimana?
Untuk Khomsi, terima kasih atas pertanyaannya. Jawaban Insya Allah akan saya up-load minggu depan. Salam kreatif

Sabtu, Januari 31, 2009

saat-saat sulit menulis

Selalu, ada saat-saat di mana aku merasa susah menulis. Saat di mana ide-ide berjumpalitan di ruang benakku, bergerak liar menggedor-gedor selaput otak, mencari jalan keluar namun tak menemu. Hingga otak terasa pepat. Dan kepalaku berderak-derai bagai onderdil mesin kekurangan oli. Atau bermagma bagai gunung berapi menunggu waktu meletus.

Saat ini, ide-ide itu tak mampu kuunyah dalam sekedipan mata. Dan aku merasa seperti orang gila. Kadang terlamun. Kadang terlolong. Kadang menjerit tanpa suara. Magma itu tak jua meletus.

Karena sesungguhnya yang dibutuhkan adalah jemari yang siap menari mengikuti apa saja yang ingin tumpah. Namun kenapa tak juga bisa tumpah? Adakah aku kembali menjadi hakim bagi partikel-partikel ide, menyaring dengan ketatnya mana boleh meletus dan dalam kondisi sematang apa?

Berapa kali komputer kunyalakan namun lagi-lagi mouse mengarah pada file-file penuh coretan kata yang tak berujung dan aku terpaku di hadapannya?

Atau membuka program aplikasi kata namun tak juga mengetikkan satu kata pun tanpa aku hapus setelahnya?

Ayolah, jangan percaya bahwa selalu ada saat sulit untuk menulis hingga menjadikan saat-saat seperti ini sebagai alasan pembenaran untuk tidak menulis. Percayalah bahwa sekarang ini kamu tengah menulis meski itu bukan cerpen untuk koran seperti yang kau inginkan atau novel atau buku non fiksi.

Setidaknya kamu menulis, Ve. Tapi jangan berhenti sebelum ide-idemu tumpah meruah dalam lembar-lembar putih pengolah kata. Jikalau pun tak selesai malam ini, karena rasa capek setelah seharian kerja, percayalah, kamu bisa menyelesaikannya jika kamu menuliskannya. Namun tak akan pernah usai jika tak pernah pula kau tuliskan.

Apa yang akan kau tumpahkan lebih dulu? Menulis untuk buku non fiksi, melanjutkan novel setengah jadi, atau menulis cerpen yang lama nian tidak lagi muncul di lembar media massa?

Sudahi membacamu. Kini saatnya menulis.

Rabu, Januari 07, 2009

QUO VADIS KRI?

QUO VADIS KRI?

Ahad (4/1/09) kemarin Siti Khuzaiyah ngajakin ketemuan di rumah Adi Toha alias Jalaindra. Melongok rumah baca yang namanya kulupa buat nanyain. Rumah baca itu hanya ada satu rak. Tapi buku-bukunya bikin ‘liur baca’-ku mengliur. Bukunya keren-keren. Meski sayangnya kulagi males buat pinjem (hal yang sebenarnya adalah kumales buat ngembaliin kalau minjem…J). Jadi begitulah, kucuma baca-baca sekilas di sela obrolan gayeng.

Siti Khuzaiyah ngungkapin kalau dia sebenarnya pingin nulis buat blog KRI ini tentang nasib KRI paska pernikahan sang koordinator alias diriku ini tapi takut aku tersinggung. Aku sih cuma ketawa aja dan malah bilang, “tulis aja gak pa-pa kok!”. Itu bagian dari demokrasi, kan?

Dan bahasa Jalaindra adalah: “Quo vadis KRI?” (moga gak salah nulisnya). Ketakutan KRI akan terbengkelai bukan hal yang berlebihan. Karena memang selama ini KRI masih melekat pada diriku meski aku selalu bilang: “KRI adalah kita, kita semua.” Dan meskipun aku menikah, aku tak ingin KRI mati begitu saja.

Kenapa KRI seperti jalan di tempat? Kurasa, alasan klise yang tampak adalah kurangnya rasa memiliki KRI itu. Jadi seolah KRI adalah one man show. Padahal apa sih yang bisa ave lakukan tanpa teman-teman lain?

KRI memang organisasi lepas, tidak mengikat anggotanya. Siapa aja boleh bergabung dan boleh hengkang. Siapa aja boleh berkontribusi dan boleh sekedar pingin tahu. Tapi sungguh, aku selalu ingin KRI bergerak dengan kita semua sebagai motornya. Posisi koordinator hanyalah sebagai perangkum dari kehebatan teman-teman semua.

Makanya KRI butuh teman-teman yang mau bersuka dan berela untuk mencurahkan pikiran. Karena sebagai rumah, KRI akan hidup dan rame dengan keberadaan penghuninya yang beraktifitas bersama.

Blog ini adalah wadah. Teman-teman diharapkan mengisinya dengan tulisan apapun sebagai bagian dari komunikasi kita. Kirim saja via imel ke rumahimaji@gmail.com. Dan kami akan menerbitkannya.

Dari perbincangan di rumah bacanya jalaindra itu kita kembali membicarakan kegiatan KRI. Salah satunya adalah keinginan menerbitkan selebaran penulisan kreatif yang akan menjadi wadah komunikasi yang nantinya dibagikan ke sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi penulisan kreatif lain seperti FLP Pekalongan.

Kami butuh bantuan teman-teman semua, baik menyangkut dana (kita patungan yuk!), tulisan (nggak lucu kalau selebaran itu kosong kan?), maupun pendistribusian.

Aduh … kok aku nggak bisa nulis yang lebih enak nih buat diposting kali ini. Ya udah lah, tunggu aja kabar selanjutnya.

Yang jelas, KRI belum mati selama kita semua masih menghuni dan berinteraksi di dalamnya.