Kamis, Oktober 18, 2007

horee... gue juara ke....

Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional
Esai Kepemimpinan Pemuda

"Pernah Ada Indonesia…."

Kelak, pada tahun entah, ada pencerita yang mengawali tutur dengan: "Dulu, pernah ada sebuah negara bernama Indonesia…."
Inilah mimpi paling buruk dalam sejarah. Ketika nafsu dan keserakahan telah mengikis nurani. Dan kotak-kotak tercipta atas nama beda. Dan manusia kembali ke etos dasarnya sebagai penakluk; siapa kuat dia berkuasa.
"Apa yang sesungguhnya terjadi?" tanya seorang pendengar.
Sang pencerita menghela napas berat. "Semua karena mimpi," katanya. "Karena mimpi," dia mengulang dengan penegasan. Sebelum meluncur cerita panjang sebuah sejarah.
Indonesia bermimpi, (maka) Indonesia ada
Impian mampu mengubah dari tak ada menjadi ada. Kedahsyatan mimpi telah teruji ketika 28 Oktober 1928, barisan pemuda dari berbagai ‘kotak’ yang beda melebur dalam satu tekad bersama yang terangkum dalam tiga butir sumpah. Merangkum bersama dalam satu bangsa, satu tanah air satu bahasa.
Ketiga butir sumpah itu adalah kristal semangat nasionalisme. Semangat yang menerobos sekat dan beda untuk mempersamakan sikap maupun tingkah laku individu dan/atau masyarakat merujuk pada satu loyalitas: Indonesia.
Mimpi mereka bukan sekedar angan-angan. Mimpi mereka adalah motor yang menggerakkan. Dalam semangat mimpi ini, lagu-lagu sarat muatan nasionalisme tercipta. Indonesia Raya, Padamu Negeri, Dari Sabang sampai Merauke dan lain-lain menjadi lagu tema pergerakan kepemimpinan pemuda.
Tak ada mimpi yang menyata dalam seketika. Bertahun-tahun mimpi itu bergulir dan membesar selaksa bola salju. Hingga menemu waktu pada 17 Agustus 1945. Tujuh belas tahun sejak penyatuan mimpi dalam sumpah pemuda, Soekarno-Hatta di desak untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Tak diragukan lagi, Indonesia yang awalnya terpecah belah dalam gerakan kedaerahan, terangkum satu dalam mimpi sumpah pemuda. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil kristalisasi semangat bersama.
Setelah kemerdekaan, impian selanjutnya adalah mengisi kemerdekaan tersebut. Hal utama adalah menyusun pondasi arah tujuan bangsa. Untuk inilah ditetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Lima sila yang tidak diciptakan namun digali dari bumi Indonesia.
Inilah mimpi Indonesia setelah sumpah pemuda. Mimpi yang masih mengusung semangat kebersamaan dalam keberbedaan. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu.
Indonesia berketuhanan yang maha esa. Indonesia berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Indonesia bersatu. Indonesia menjunjung tinggi mufakat dalam musyawarah. Indonesia yang adil.
Pancasila adalah lem yang merekatkan semua mimpi rakyat.
Namun, sebuah mimpi pun bisa berbeda dalam penafsiran. Perbedaan penafsiran ini akhirnya memunculkan friksi antara barisan pemuda yang memegang idealisme dan pemimpin negara yang mereka anggap otoriter dan keras kepala memegang cara dan cita-citanya.
Friksi ini terus berlanjut hingga pada tahun 1966. Setelah tragedi pemberontakan PKI pada 30 September 1965, para pemuda bersatu padu dengan semua elemen mahasiswa, organisasi pemuda dan kemasyarakatan, menumbangkan kekuasaan orde lama, dengan satu mimpi: menciptakan perubahan ke arah idealisme yang menurut mereka telah dibelokkan Soekarno.
Peristiwa ini menjadi awal terbentuknya orde baru. Sebuah orde yang diyakini akan mampu mengembalikan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam era orde baru, Pancasila disakralkan. Diwajibkan untuk dihapal pelajar. Ditatarkan secara teori. Diujikan dan dinilai sebagai bentuk pelajaran setara dengan pelajaran hapalan lain. Padahal sebagai sebuah filosofi, Pancasila seharusnya menjadi pegangan perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Penyimpangan Pancasila justru terjadi di semua tingkat. Kepemimpinan pemuda kembali menggugat. Reformasi dipekikan. Dan orde baru dibawah kendali Jendral (purnawirawan) Soeharto tumbang.
Ironisnya, penumbangan orde baru tidak diikuti konsep jelas ke arah mana perjuangan pemuda. Kepemimpinan pemuda pada tahun 1945 mengusung arah kemerdekaan. Pergerakan 1966 untuk mengembalikan laju negara pada Pancasila. Dan Pergerakan reformasi 1998 terasa hanya penurunan tahta dan pergantian rezim. Reformasi dimaknai sebagai ‘bongkar’ dan ‘susun ulang’ pemegang tampuk kekuasaan, bukan kepemimpinan.
Memimpikan kembali Indonesia
Jika sebuah mimpi sudah tidak lagi relevan, mengganti impian adalah sebuah keniscayaan, bahkan keharusan. Namun tengoklah kini mimpi-mimpi Indonesia.
Mimpi yang kita miliki sejak awal pendirian negara telah termaktub dengan lengkap. Diawali dengan proklamasi kemerdekaan dimana dicetuskan bahwa kemerdekaan ialah hak. Dan penjajahan—apapun bentuknya—harus dihapuskan. Baik penjajahan fisik maupun psikologis.
Pemuda sebagai pilar utama bangsa justru terlupa akan mimpi itu dan mencari mimpi lain dari budaya asing. Mimpi yang justru bertolak belakang dengan khasanah yang kita miliki. Pemuda terasyik-masyuk dengan hedonisme.
Bahkan sumpah pemuda tak lagi menjadi perekat. Organisasi kepemudaan dan masyarakat maupun partai politik mengusung mimpi-mimpi individu dan golongannya untuk sebuah kekuasaan bahkan saling mengintimidasi golongan dan kelompok lain.
Kita kembali tercerai berai. Kepemimpinan pemuda hanya menjadi pendobrak tanpa berpegang pada gambaran kuat akan arah masa depan negara. Padahal gambaran arah itu telah termaktub dalam pancasila. Dalam kelima sila yang mengakomodasi seluruh harapan anak bangsa.
Adakah yang lebih hebat dari mimpi dalam lima sila itu? Adakah mimpi lain yang bisa merangkum berbagai beda suku, ras, agama, budaya yang berlainan yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia?
Tanpa perekat, tanpa pemersatu, tanpa arah negara yang mewadahi semua beda, maka timbul lah perpecahan. Bukan mustahil jika kemudian terbentuk Negara Daerah, Negara Suku, Negara Golongan, Negara Agama dan hilanglah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya tersisa sebuah dongeng ‘pernah ada Indonesia’.
Pancasila kini pun hanya menjadi hapalan anak sekolah. Pancasila tidak kita implementasikan dalam kehidupan. Kita lebih berpihak pada kepentingan golongan, organisasi, partai, agama dan mengabaikan kepentingan bersama. Bahkan pendidikan butir-butir pengamalan dan penghayatan pancasila pun kita abaikan hanya karena penyimpangan yang pernah dilakukan sebuah rezim. Bukan karena tidak relevan lagi butir-butir tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Tugas kepemimpinan pemuda saat ini adalah mengembalikan arah pada mimpi pendirian negara. Menelaah perjalanan panjang Pancasila dari 1 Juni 1945 hingga sekarang. Bercermin dari sejarah agar penyelewengan yang pernah dilakukan sebuah rezim tak lagi terulang.
Menanamkan nilai-nilai Pancasila adalah sebuah keharusan. Penanaman yang hanya terbatas pada teori hanya akan tumbuh menjadi tanaman semu yang tidak berakar. Kepemimpinan pemuda harus bisa menjadikan Pancasila sebagai perilaku berbangsa dan bernegara. Bukan sebagai omong kosong tanpa makna.
Perjuangan idiologi saat ini tak lagi seperti ketika berhadapan dengan imperialisme di tahun 1945. Bukan pula berhadapan dengan kapitalisme dan totalitarianisme. Perjuangan idiologi saat ini adalah perjuangan merevitalisasikan kembali sebuah nilai yang telah tercemari perilaku rezim.
Mewujudkan impian memang membutuhkan waktu. Namun mimpi hanya akan menjadi angan-angan kosong tanpa tindakan. Tak akan ada ‘simsalabim abrakadabra’.
Pertanyaan untuk kita renungkan adalah, adakah sosok pemimpin yang masih berpegang teguh pada mimpi Indonesia? Karena pada hakekatnya setiap individu adalah pemimpin, setidaknya bagi dirinya, maka setiap individu pun harus kembali pada pengamalan butir-butir pancasila dalam kehidupannya. Dan jika setiap pemuda telah menanamkan pancasila, kepemimpinan pemuda ke depan akan memiliki satu irama yang sama. Keberagaman tak akan lagi menjadi bencana. Kotak-kotak atas nama suku, ras dan agama akan menjadi kebhinekaan tunggal ika.
Epilog
Aku bersyukur mimpi buruk dalam awal tulisan ini hanya akan terjadi kelak bilamana. Aku bersyukur masih ada waktu untuk merubah mimpi buruk sejarah. Aku bersyukur masih bisa berkata untuk kembali pada mimpi kita. Mimpi kita yang satu: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
***
Daftar bacaan:
Wawan Tunggul Alam, SH., Bung Karno Menggali Pancasila, Gramedia Jakarta 2001.
A. Fanar Syukri, Peran Pemuda dalam 20 Tahunan Siklus Nasionalisme Indonesia (Refleksi 75 tahun Soempah Pemoeda, 1928-2003), http://ppi-jepang.org.
Zacky Khairul Umam, Transformasi Kepemimpinan (Pemuda) Indonesia, http://suarakarya-online.com.
Saleh Awal, Krisis Pemimpin dan Kepemimpinan Pemuda, http://www.salehawal.blogspot.com.
A Khoirul Anam, Kembali kepada Pancasila, http://sinarharapan.co.id.
Siswono Yudo Husodo, Pancasila dan Keberlanjutan NKRI, http://kompas.com
Ir. H. M.Q. Iswara, Nasionalisme Indonesia Dalam "Ancaman"?, http://duniaesai.com.
Tjahjopurnomo S.J., Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: beberapa catatan tentang persatuan, http://digilib.pnri.go.id.
Berikut Ini Nama-Nama Pemenang Lomba Esai Kepemimpinan
(Dan gue--Alhamdulillah... juara ke... he he he nggak ada. ke dua dari belakang kali ye....)
Pemuda dan Penghargaan Penulis Kepemudaan Kementerian Pemuda dan Olahraga
bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena 2007
Kategori Pelajar
Juara I :
Syam Al Wahed, Madura
Juara II : Ahmad Fachrurrozi, Magelang, Jawa
Tengah
Juara III : Adrianus Sinthesa, Muntilan, Jawa
Tengah
Juara Harapan I :
Ahmad Fajrul Falah, Yogyakarta
Juara Harapan II :
Akhir Sya'bani, Purbalingga
Juara Harapan III :
Mustamid, Yogyakarta
Kategori Mahasiswa
Juara I : Veri Nurhansyah
Tragistina, Depok
Juara II : Ria Casmi Arrsa, Malang
Juara III : Heri Mulyanti, Yogyakarta
Juara Harapan I :
Tohirin, Jakarta
Juara Harapan II :
Randi Muchariman, Tasikmalaya
Juara Harapan III :
Edy Saputra Simamora, Medam, Sumut
Kategori Umum
Juara I : Nurani
Soyomukti, Jakarta
Juara II : Mubarok, Semarang
Juara III : Sudaryanto, S.Pd, Yogyakarta
Juara Harapan I :Yadi
Setiadi, Bandung
Juara Harapan II :
Fathurrofiq, Surabaya
Juara Harapan III :
Robertus Bellarminus E.A.N, S.S, Jakarta
Kategori Penghargaan
Penulis
Juara I : Ubaidillah Nugraha, Jakarta
Juara II : Redite Kurniawan, Timika-Papua
Juara III : Syarif Hidayat Santoso, Sumenep
Juara Harapan I :Muhtadi,
Tanggerang
Juara Harapan II :Hery
Susanto, S.Pi, M.Si, Jakarta
Juara Harapan III :Dahlia,
Palembang
Tim Juri
1. Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Harian Republika
2. DR. M. Budi
Setiawan, M.Eng, Deputi Bidang Pengembangan Kepemimpinan Pemuda
3. M. Irfan
Hidayatullah, SS, Mhum, Dosen Universitas Padjadjaran Bandung & Ketua Umum
FLP
Catatan:
Keputusan Juri
tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat
Setiap pemenang
akan dihubungi panitia untuk penyerahan hadiah