Selasa, September 23, 2008

Memahami Teks Sastra*

Ditulis oleh jalaindra di/pada Februari 18, 2007

Memahami Teks Sastra*

Hermeneutika moderen yang digagas oleh pendirinya, Schleiermacher, berangkat dari sebuah dalil yang berbunyi: Es gilt einen Verfasser besser zu verstehen, al ser sich selber verstanden hat (kita harus memahami seorang pengarang lebih baik dari dia sendiri memahami dirinya). Hal ini sangat mungkin karena sebuah teks sastra sangat multi-interpretable. Dunia yang dibangun oleh teks-teks sastra terbuka untuk didekati dan dimasuki oleh siapa saja, bahkan oleh pengarang sendiri dengan cara yang bisa saja berbeda dari maksud semula saat ia melahirkan sebuah teks sastra. Maksud teks dan maksud pengarang adalah dua hal yang berbeda dan tidak perlu selalu sama dan sejalan.

Ricoeur dalam Interpretation Theory: Discourse and The Surplus of Meaning, menyebut maksud pengarang sebagai utterer’s meaning (makna pengujar), sedangkan makna teks adalah utterance meaning (makna ujaran). Makna pengujar atau makna pengarang sangat bergantung kepada maksud pengarangnya, dan bersifat intensional. Sedangkan makna teks tergantung dari hubungan-hubungan dalam teks itu sendiri dan bersifat proporsional.

Dalam melakukan interpretasi sebuah teks, Schleiermacher membedakan interpretasi psikologis dari interpretasi gramatik. Interpretasi psikologis adalah tafsir yang dilakukan dengan melihat hubungan antara teks dan penulis serta situasi psikologis penulisnya. Sedangkan tafsir gramatik didasarkan pada hubungan yang terdapat antara kata dan kalimat dalam sebuah teks. Setiap teks yang ditulis, dengan demikian mendapatkan apa yang disebut sebagai otonomi semantik, yang membebaskan teks dari tiga ikatan. Pertama, teks dibebaskan dari ikatannya dengan pengarang. Sebuah teks yang tertulis bebas ditafsirkan oleh siapa saja yang membacanya tanpa terikat kepada apa yang semula dimaksudkan pengarangnya. Kedua, sebuah teks juga dibebaskan dari konteks di mana semula dia diproduksikan. Ketiga, sebuah teks dibebaskan dari hubungan yang tadinya terdapat di antara teks itu semula ditujukan.

Teks diandaikan sebagai sebuah dunia tersendiri, yang lebih dari sekedar refleksi dunia psikologis pengarang, atau refleksi dunia sosiologis dari konteks di mana teks tersebut diproduksi. Hubungan teks dengan penulis dibentuk oleh intensi, hubungan teks dengan dirinya dibentuk oleh makna (sense) sedangkan hubungan teks dengan dunia luar teks dibentuk oleh referensi (reference).

Mengapa makna sebuah teks (dalam hal ini teks sastra) begitu penting? Pertama, adalah karena peristiwa-peristiwa akan berlalu, tetapi makna yang melingkupi peristiwa akan tetap tinggal. Kedua, makna teks adalah suatu dunia tersendiri yang berbeda baik dari maksud pengarang, maupun dari dunia referensial, yang dirujuk oleh teks. Makna tekstual (sense) berbeda juga dari dunia referensi, karena teks tidak hanya bercerita tentang referensinya, tetapi membangun dunianya sendiri, yang bisa berlainan atau bertentangan dengan dunia referensinya. Setiap teks yang hadir kemudian mendapatkan semacam otonomi sendiri, otonomi semantik yang selain sanggup membebaskan teks dari maksud pengarangnya, sanggup pula membebaskan diri dari rujukan-rujukan kepada dunia referensial. Apakah sebuah teks sastra hanya bercerita tentang sesuatu, atau teks sastra itu sendiri mau mengatakan sesuatu?

Sosiolog Karl Manheim, pernah mengajukan teori bahwa setiap karya seni (termasuk juga karya sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Tingkat pertama adalah makna objektif, yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri: apakah dia gagal atau berhasil menjelmakan keindahan dan pesan yang hendak disampaikannya. Tingkat kedua adalah makna ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar belakang psikologi penciptanya. Suatu karya sastra adalah ekspresi suatu momen tertentu dari episode kehidupan si pencipta. Tingkat ketiga adalah makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaannya. Inilah mengapa sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dilihat dari nilai keindahannya semata, melainkan juga nilai kebenaran yang ada di dalamnya.

Georg Lukacs, dalam Die Theorie des Romans, menunjukkan bahwa setiap karya sastra akan menghadapi tiga dilema dalam menunjukkan dan mengatur hubungan dengan antinomi masyarakatnya. Pertama, suatu karya sastra dihadapkan pada dilema romantis ketika dia berusaha menunjukkan bahwa adalah mungkin bagi anggota-anggota suatu masyarakat untuk melepaskan diri dari kaitan-kaitan secara kelembagaan dan ikatan-ikatan kelas sosial serta prasangka-prasangka status sosial. Seni (sastra) seakan-akan bertujuan menciptakan universalitas pikiran dan kesatuan perilaku manusia yang sudah terbebas dari kungkungan konteksnya. Persoalannya adalah, bahwa manusia tidak mungkin berada dan berkembang terlepas dari kaitan dengan lembaga-lembaga, kelas dan status sosial yang ada. Kedua, suatu karya sastra dihadapkan pada dilema intelektualitas. Di sini muncul jarak dan bahkan jurang antara sifat suatu karya seni atau sastra sebagai pengejawantahan Zeitgeist zamannya, yang berarti dia dapat berperan sebagai suatu alat bantu filsafat dan ilmu-ilmu sosial, dan kedudukannya sebagai suatu karya otonom yang harus dibedakan dengan jelas baik dari filsafat maupun dari ilmu-ilmu sosial. Persoalannya adalah, apakah sastra harus heteronom dan mencerminkan semangat zamannya, atau dia dapat juga otonom dan bahkan sanggup menerobos zamannya sendiri dan membuka cakrawala suatu zaman baru? Ketiga, suatu karya sastra dihadapkan pada dilema etis, yang mengandung pertentangan antara keputusan-keputusan individual setiap tokoh dalam sebuah karya dan akibat-akibat dari tindakannya berdasarkan keputusan yang sudah diambil.

Metafor, adalah sesuatu yang lumrah dalam sebuah teks sastra, bahkan itulah yang membedakan teks sastra dengan teks-teks lain semisal laporan jurnalistik dan catatan perjalanan. Metafor, dalam pengertian Ricoeur, adalah lingkaran hermeneutik antara sense dan reference. Sense adalah makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks, sedangkan reference adalah makna yang lahir dari hubungan teks dengan dunia di luar teks. Masih menurut Ricoeur, metafor adalah ketegangan di antara fungsi identifikasi dengan fungsi predikasi. Identifikasi berfungsi membatasi dan penting untuk mengidetifikasi peristiwa, sedangkan predikasi berfungsi membuka kembali pembatasan, dan penting untuk mengembangkan makna.

Teks adalah dunia sendiri, seperti juga bahasa bukan hanya sarana untuk mengatakan sesuatu, tetapi adalah dunia tersendiri. Sebuah karya sastra, dengan teks-teks yang dihasilkannya, diharapkan sanggup untuk membangun sebuah dunia tekstual, yang bukan hanya menjadi perbandingan untuk dunia referensial, tetapi bisa menjadi dunia baru, yang mengundang pembaca untuk meninjau dan menikmatinya dan bahkan mungkin juga menghuninya.

*Semacam rangkuman dari buku “Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan”, Ignas Kleden, Grafiti, 2004)

Tidak ada komentar: