Senin, September 08, 2008

reportase FORMA KRI-FLP

REPORTASE: FORMA KRI-FLP

Kalau postingan kemarin Forum Bersama itu kita singkat menjadi FORBER, sekarang kita ganti menjadi FORMA. Kedengarannya lebih enak ya? Nah, meskipun acara kemarin tidak ada fotonya (karena baik KRI maupun FLP tidak mempunyai foto digital) maka setidaknya ada reportasenya nih. Meskipun … yah, cuma sekedar cerita dikit aja. Heran deh, mustinya kita mempunyai reporter untuk kegiatan-kegitan kita ya?

Acara, seperti pada umumnya kebiasaan kita, mulur satu jam. Ketika Ave dan Dayat datang jam 15.00 WIB, ruang pertemuan juga belum dibuka. Di belakang, mas Tarno dan mbak Yossi sedang sibuk dengan bakaran ayam. Heran, kenapa nggak ada yang bantu ya?

Ave dan Dayat bantu nyiapin tempat pertemuannya. Menggelar tikar. Pingin bantu nyicipin masakan tapi percuma. Pasti sudah enak. He he he… orang lagi puasa mau nyicipin, ntar malah ‘melupa’ dan makan….

Ya udah, duduk-duduk aja nunggu yang lain datang. Dan akhirnya pada berdatangan juga. Meski baru 8 orang, acara di mulai jam 16.10 WIB. Setelah dibuka oleh Ummu, acara dilanjutkan tilawah oleh Tria. Lalu dilanjut dengan Sharing: “aku dan proses kreatif”.

Acara memang ‘dilukir’. Karena menurut Ave, diskusi “kematian penulis” nanti kalau sudah pada datang semua. Begitulah, mbak Yossi meski haus (ya iya lah! Secara puasa gitu lho!) memoderatori acara berbagi pengalaman ini. Dan mulailah meluncur dari temen-temen tentang proses kreatif mereka dalam berkarya. Sambil curhat-curhatan ini, undangan lain juga pada berdatangan.

Ternyata, sebagian besar teman-teman mengaku sedang mandul karya. Meskipun Dayat misalnya mengaku telah mengirimkan 60 cerpen ke majalah Anneka dan belum juga ada yang nongol. Yang dikomentari mbak Yossi dengan mengatakan bahwa Joni Ariadinata pun pernah mengalami naskah tidak dimuat sebanyak 500 biji dan sekarang siapa yang meragukan kualitas karyanya? Jadi dalam proses, kebelumberhasilan itu hal yang wajar.

Tria yang curhat kemudian bilang pernah bikin novel dan belum jadi. Dikirim ke Afifah Afra untuk minta komentar sebelum melanjutkan tapi tidak ada komentar. Dan bertanya ke forum “bagaimana cara memperbaiki suatu karya?” yang di jawab dengan kebisuan, desahan dan garuk-garuk kepala seolah mengatakan “sama lah masalahnya ma kita-kita” he he he he… entar Tria, moga ada yang sudi menjawabnya ya…. Di tunggu di rumahimaji@gmail.com.

Kiki, Lufi, Priana, Ari, setali tiga uang. Hanya nulis coret-coret kecil di diary. Tapi kiki lebih berani mempublikasikan karya ke temen-temennya lewat sms. Untung cuma puisi yang kau sms kan. Kalau novel juga kau sms kan, senanglah operator selular yang belakangan banyak bikin pusing dengan tarif-tarifnya ini! Absar yang lumayan nih. Cewek smp ini setidaknya sudah nulis dan dimuat di buku CIKAL.

Bambang, Udin, Ummu, Siti Khuza malah mengaku lagi tidak berkarya. Aduh … lagi sibuk ya? Yang lagi getol nulis Luluk yang sekarang lagi nulis kisah-kisah hidupnya meski belum dikirim ke media. Widyasari lagi nyelesein novel. Yossi lagi nyelesein buku non-fiksi. Dan Ave sedang getol belajar nulis cerpen koran. Bukannya sudah tidak mau nulis di majalah remaja lagi, katanya, tapi pingin membuktikan diri saja bahwa dia juga bisa nulis di koran meski saat ini belum juga bisa nembus. Semangat Ve ya…

Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi “Kematian Penulis: Apa, mengapa dan bagaimana mengatasinya.” Dipandu Aveus Har sebagai moderator, forum sepakat memberikan definisi Kematian Penulis adalah kondisi dimana penulis atau calon penulis tidak lagi berkarya. Dan pertanyaan untuk forum kemudian adalah ‘mengapa terjadi kematian penulis?’

Dari forum terungkap beberapa sebab yang mengakibatkan kematian penulis yakni kurangnya percaya diri pada karya sendiri, rasa malas dalam menulis, kesibukan lain yang menyita, kekeringan ide untuk dituangkan, hasil karya selalu ditolak oleh media. Kelima hal itu diungkapkan oleh Luluk. Yang oleh M. Isa diklasifikasikan sebagai sebab eksternal dan sebab internal.

Tria menambahi sebab media nggak fair dengan nama baru. Katanya dia pernah baca cerpen Putu Wijaya yang jelek tapi dimuat. Dia menduga faktor keterkenalan berpotensi untuk memunculkan karya. Yang ditimpali Ummu: berarti kita harus terkenal dulu aja!

Ummu kemudian menambahi: lemahnya cita-cita, lemahnya obsesi dan orientasi juga menjadi sebab kematian penulis. Ave menambahi, sebalik kurang percaya diri, rasa terlalu percaya diri, merasa karyanya telah hebat pun bisa membuat matinya penulis.

Dari seabrek sebab musabab itu kemudian dicoba mencari solusi. Untuk kurang percaya diri solusinya adalah mempunyai motivator, baik buku maupun person. Sedang agar tidak merasa terlalu percaya diri dibutuhkan pembedah karya. Bagaimana dengan sebab kematian lain?

Karena bedug maghrib telah menggema dan saatnya berbuka, maka pertanyaan dibiarkan menggantung untuk didiskusikan lain waktu. Selamat menunaikan ibadah puasa!

Tidak ada komentar: