Bulan Merah
Oleh: Aveus Har
Masih terlalu siang untuk bulan. Matahari sedang hendak beranjak. Masih terlalu siang pula untuk Pardi. Para pedagang sedang hendak menggelar lapak. Masih terlalu dini memang. Hari baru menjelang Ashar.
Jumilah, istri Pardi, pun sudah mengingatkan suaminya tadi. Tapi mana mau Pardi peduli? Dia bukan orang yang suka menunda-nunda. Dari pulang kerja sebelum minum teh hangat bikinan sang istri, dia sudah langsung mengajak bicara serius. Lalu segera ganti baju dan celana. Jumilah juga dandan cepat-cepat karena Pardi menunggu di ambang pintu. Dia memainkan kunci kontak motornya yang berbandul kelentingan. Bunyi tang-tingnya membuat Jumilah merasa diburu-buru.
Begitu sampai di Jalan Kemakmuran, Jumilah mencibiri punggung suaminya. Dalam hatinya dia bilang, "Rasain, dibilang belum pada buka, ngotot...." Tapi lengannya tetap mengait perut Pardi yang masih kempes.
Pardi tidak bilang apa-apa. Dia juga tidak mau mengakui apa-apa. Tidak terlalu penting kesalahannya kali ini. Masih ada hal yang jauh lebih penting. Lebih genting. Meski perutnya belum diisi, bukan masalah itu di pikiran Pardi.
Bulan memang terlalu dini. Toh akhirnya matahari beranjak juga. Pardi juga terlalu dini. Toh akhirnya perutnya akan terisi juga. Warung nasi urap yang hanya lesehan tikar di atas trotoar, selaksa hidangan istimewa saat lapar.
Pardi memesan seporsi. Istrinya tidak. Masih kenyang katanya. Tadi pagi dia memasak sambal goreng ati kesukaan Pardi. Biasanya dia menunggu suaminya pulang. Tapi tadi Pardi SMS bilang tidak makan siang di rumah. Jumilah mengira ada rapat di kantor suaminya. Biasanya ada nasi kateringnya.
Ternyata Pardi belum makan. "Siang ini, sampai nanti malam kita makan di luar."
Jumilah kaget. "Masakanku?"
"Kita kirimkan ke tetangga-tetangga."
Jumilah protes. Ini tidak adil, katanya. Dia sudah capek-capek masak istimewa buat suami tercinta tapi malah akan dibagi-bagi ke tetangga. Dia berkata-kata dengan mata berkaca-kaca.
Pardi tahu dirinya telah menyakiti sang istri. Dia menarik napas panjang seperti menyesal. Dengan perlahan dia bertutur ihwal keputusannya. Tangis Jumilah malah tumpah. Bukan karena kengototan Pardi untuk makan di luar. Justru karena tahu Pardi punya alasan yang dia restui. Biarlah masakan istimewa kali ini dibagi-bagi.
"Tapi warungnya belum pada buka jam segini," kata Jumilah.
"Sudah," yakin Pardi.
"Kalau belum?"
"Ditunggu."
"Tidak kelaparan?"
"Tidak apa."
Jumilah tahu Pardi keras kepala. Tapi hatinya lembut seperti sutera. Itu yang membuat Jumilah suka, lalu jatuh cinta.
Sekarang Pardi lahap mengunyah nasi urap. Jumilah memandangi penjualnya. Wanita tua membuat dia teringat ibunya di kampung. Bersama siapa ibunya tiap hari? Jumilah satu-satunya anak. Itupun anak pungut dari orangtua yang tega meninggalkan bayinya di samping tempat sampah. Ibunya sudah bercerita sebelum dia bertanya.
Jumilah tidak mau mencari orangtuanya. Ibu adalah orangtuanya. Yang tidak menikah dan menjadi perawan tua. Jumilah tidak tega meninggalkan ibunya di kampung. Tapi Pardi suaminya itu diterima jadi pegawai negeri di sini. Sedang ibunya tidak ingin pergi.
Apakah ibu penjual nasi urap ini punya suami?
"Sudah tidak tahu di mana, Nak," kata ibu itu. Matanya sembab. Lalu mengalur tentang sebab. Suaminya pergi sebagai buronan polisi. Dia membacok majikannya sampai mati.
Dia punya dua anak. Perempuan semua. Yang satu menikah dan transmigrasi. Tidak pernah kembali. Yang satu punya anak, tapi tidak punya suami. Nasi urap ini yang membiayai.
Kelopak Jumilah memanas. Pardi tahu. Dia memandang istrinya. Matanya bilang, jangan menangis. Hidup memang sering tidak adil. Tapi bisa apa mereka?
Pardi membayar. Kembaliannya tidak dia minta. Hitung-hitung memberi derma. Semoga bisa menebus dosa yang tidak dia berdaya.
Beberapa meter dari warung nasi urap, Pardi menghentikan motor di depan gerobak buah. Gerobak ini turun di jalan. Tidak di trotoar. Jalan itu menjadi sempit sedang kendaraan semakin banyak di kota ini. Bayangkan saja, lima ratus ribu bisa membawa motor gres dari dealer. Tak peduli bulan-bulan besok kepayahan dikejar-kejar setoran.
Jumilah memilih apel. Belum tentu setahun sekali dia makan apel. Pardi membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu itu kemahalan. Hanya terpaut sedikit dengan harga di supermarket. Di sana memang mahal karena butuh banyak biaya. Anehnya laku juga.
Sang penjual sedang menggerutu dengan peringatan pemda. "Nyari makan saja diuyak-uyak. Mbok mendingan ngasih duit buat betulin gerobak. Ini gerobak sudah reyot, mana bisa didorong-dorong?"
Pardi tidak ikut nimbrung. Dia sekadar mendengarkan. Laki-laki berkumis tebal yang menjadi teman bicara sang penjual buah menimpal, "Kalau saya kemarin jadi dewan, tidak bakalan seperti ini."
Pantas Pardi merasa pernah melihat orang itu. Pasti dari gambar-gambar reklame pemilihan DPR lalu.
Mata Jumilah berkaca-kaca.
Bulan masih terlihat samar.
*
Usai shalat ashar, Jumilah mengajak masuk warung kacang ijo. Kali ini sang istri yang makan. Pardi masih kenyang. Dia hanya memperhatikan pasangan penjual kacang ijo itu. Ditaksir baru dua puluhan usianya. Yang perempuan menimang anak balita.
Pardi belum punya anak. Istrinya sudah pernah hamil, tapi keguguran. Beberapa kali. Penjual itu sudah punya dua anak. Mereka kawin muda. Anak pertama diasuh nenek di rumah.
Cukupkah penghasilannya?
"Alhamdulillah bisa buat makan."
"Tidak pingin kerja jadi pegawai?"
"Nggak punya duit buat sogokan."
"Kan tidak boleh jualan di sini?"
"Udah telanjur banyak pembeli. Kalau pindah nanti malah sepi."
"Kalau kena razia...."
"Lillahita'alah, Pak....:
Istri Pardi berkaca-kaca. Pardi tahu kenapa. Tapi tidak berdaya. Di langit, bulan pucat, seperti mayat. Motor Pardi melaju lagi.
Beberapa meter, menyeberang jalan, Pardi berhenti. Dia memperhatikan aneka kerajinan tangan yang dihampar pada kain terpal. Dia membayangkan rumahnya, dan mengira mana yang cukup layak untuk hiasan perumahan sederhana miliknya. Yang angsuran kreditnya masih lama.
Kerajinan tangan itu tidak terlalu bagus menurutnya. Harganya memang murah.
"Buatan anak-anak, Pak."
"Anak-anak mana?"
"Tetangga. Sebagian putus sekolah."
"Putus sekolah?"
"Iya. Saya cuma ngumpulin mereka di sanggar. Silakan kalau mau main kapan-kapan. Ini alamatnya."
"Sudah lama?"
"Belum. Tadinya kerja di pabrik, di-PHK. Bangkrut."
"Laku?"
"Lumayan, Pak. Bisa buat ulur makan tiap hari. Tidak tahu nanti-nanti. Katanya sekarang tidak boleh di sini."
Air mata Jumilah merembes. Penjual kerajinan tangan memandangnya bingung.
"Tidak apa-apa, tadi kelilipan."
Bulan redup. Ada mendung. Angin berkesiut.
u
Usai shalat maghrib di surau kecil belakang pertokoan, mereka duduk- duduk di emper toko yang tidak buka. Tidak jauh dari penjual gorengan pitate-pisang, tahu, tempe. Hanya diam. Hanya kembara pikiran.
Malam ini bulan bertahta. Tapi muram.
Usai shalat Isya', Jumilah mengajak masuk ke warung mi ayam. Memesan dua porsi, satu tanpa saus. Pardi tidak suka saus. Tapi dia menambahkan banyak sambal cabai. Mukanya sampai memerah karena kepedasan.
Jalanan di depan kian ramai. Kian sesak. Nyala terang lampu mengalahkan sinar bulan. Bulan menyepi sendiri. Angin kian berkesiut. Tapi keramaian tak terhenti. Suara musik menghentak dari penjual CD bajakan. Mal di sisi jalan sana menarik orang bagai nyala lampu menarik laron.
Deretan kaki lima mengais sisa. Jika tidak di sini, lalu di mana? Sedang laron tak pernah mencari lampu mati. Pardi paham sekali. Dadanya ngiris sekali.
"Kita pulang saja, Mas."
"Tidak sampai malam?"
"Tidak kuat." Matanya sembab.
"Besok mereka sudah tidak ada."
"Nanti di rumah saja ngomongnya."
"Dosa aku...."
"Mas...."
*
Jumilah menangis sesenggukan sepanjang perjalanan pulang. Saat berhenti di lampu merah, beberapa orang di sekitar memandang aneh. Pardi tidak hendak menegur. Dia tahu Jumilah peka perasaannya. Itu juga yang membuat dia dulu suka. Lalu jatuh cinta. Jumilah tak pernah sayang menyedekahkan uang. Meskipun kehidupan mereka belum begitu lapang. Yang penting dada selalu lapang. Begitu pernah dia bilang.
Baru setelah sampai di rumah, air matanya menuumpah ruah. Meski tidak terdengar suara. Dan Pardi tahu memang begitulah istrinya. Ketika melihat televisi menayangkan penderitaan orang papa, dia menangis. Padahal, tayangan itu sudah direka-reka penuh drama.
Apalagi sekarang. Dia merasa menjadi bagian orang yang sering disewotinya. Orang yang sewenang-wenang pada kaum papa. Orang yang makan dari penderitaan orang.
Dada Pardi buncah. Di mejanya, tergeletak salinan surat ber-kop instansi tempat kerjanya. Besok ada razia di Jalan Kemakmuran. Sesuai perda nomor sekian tahun sekian. Atas dasar kebersihan, keindahan dan ketertiban.
Di bawah surat itu terbubuh tanda tangan. Dengan nama. Dan jabatan. Pardi Susanto, SE. Kepala Satpol PP.
Di langit, bulan merah. Hujan mengepung. Enggan beranjak. *
Dimuat di SUARA PEMBARUAN 20 Desember 2009
Sabtu, Desember 26, 2009
BULAN MERAH
Cerpen
PUISI CINTA ISTRI
Oleh: Aveus Har
“Aku mencintai puisi.”
Jika mata bisa menyerukan kata, apa yang mataku serukan mendengar kalimatnya? Serupa Columbus ketika menemukan benua baru setelah pengelanaan panjang melintas samudra dengan keraguan akan penemuan telah menggelayut kah? Daratan adalah apa yang Columbus yakini ada di nun sana dan dia berjuang membuktikannya. Ia bersikukuh daratan itu ada meski semua orang meragukannya. Ia membuktikan dan namanya tertulis dalam sejarah. Columbus tegar tidak menyerah.
Dan wanita ini adalah apa yang dulu aku yakini tercipta di dunia ini untuk menemaniku. Yang bahkan waktu membuatku ragu. Lalu, ketika keyakinan goyah dan aku menyerah, wanita ini hadir menyesakkan sesal.
Dulu aku menganggap usia selaksa batas. Ketika semakin bertambah dan menua, aku merasa telah sampai batas pencarian dan mengakhiri perjalanan. Aku bukanlah Columbus yang tegar.
Wanita ini bernama Kinanti. Dia adalah jutaan kalimat indah yang terangkum membentuk puisi. Menggetar lewat tatapnya. Merasuk lewat tutur. Menggolak bersama gerak. Membuatku ingin sekejap pergi dari realita dan berharap bisa menemukan jalan mengulang waktu.
Aku menemukannya bersama desah kelu ‘andai saja’. Dalam sebuah kebetulan meski kuyakin ini bukan kebetulan semata. Ini adalah jawaban. Untuk sebuah keyakinanku yang telah menguap. Untuk menegaskan kepecundangan diri.
Gerimis yang menderas di suatu siang berwarna sephia. Di bawah awning toko perhiasan yang tutup di hari minggu. Dia menyendiri bersandar teralis. Menenang diri ketika orang lain ricuh dalam gegas-gegas tak ingin terjebak.
Aku tengah duduk menulis puisi di seberang jalan sejak mendung menggayut sebelum gerimis merinai dan hujan menderas. Bertirai rajutan air aku memandangi, dan meyakini dia memandangiku. Naluri menggerakkanku menyeberang meski hujan belum usai benar.
“Sedang apa kau?” Aku bertanya, dalam lantunan hasrat.
“Menunggu. Kau?” Dia balas bertanya, dengan kalimat pendek.
“Menulis puisi,” aku menunjukkan kertasku. Dan matanya berbinar. Dan alisnya bergerak. Dan dia meminta notesku. Mencermati baris-baris di lembar-lembar kumal. “Aku mencintai puisi,” katanya.
Saat itu aku merasa bertemu metamorfosis rusukku yang mustinya kutemukan pada suatu waktu saat merindu. “Benarkah?” tanyaku takjub.
“Ya. Puisi adalah kehidupan, dan kehidupan adalah puisi1,” ujarnya dengan mata syahdu yang memandangku sekilas.
“Dan engkau adalah puisi,” kataku.
“Kau juga,” balasnya dengan binar menguar. Membuatku alpa pada sinyal bahaya atas puisi hidupku. Aku laki-laki beristri. Tapi istriku tidak mencintai puisi. Baginya, hidup adalah apa yang mengalir tanpa perlu berumit-rumit mencari diksi. Kata cukuplah jika bisa dimengerti.
Aku meyakini puisi adalah jiwa diriku. Dan istriku bilang dia mencintaiku. Tapi dia tidak mencintai puisi. Bagaimana dia bisa mencintai gelas tanpa peduli isi?
Lalu bersamaku kini seorang Kinanti yang mencintai puisi. Menawarkan percakapan yang tak ingin kusudahi. Seperti anak kecil menemu teman bermain dan tak ingin pulang meski lapar mendera.
“Kau tahu apa yang kupikirkan?” tanyaku, mungkin meretas jalan untuk merayu. Aku tak tahu. Lama tak kuberkata seperti itu. Lama kalimatku mengikuti istriku: kata cukuplah jika bisa dimengerti.
“Tapi pikiran tak bisa didengar. Maka bicaralah2,” katanya, lagi-lagi mengutip baris puisi.
“Jika saja waktu ini adalah dulu.”
“Jika saja dulu adalah kini,” dia membalas sama bersayap. Kami sama-sama mengulum senyum. Dan begitu gerimis terhenti, kami pun bergandengan pergi. Menelusuri jalan dan berbincang indahnya puisi.
Waktu pun menghilang dalam putaran yang berhenti. Manusia menghitung waktu dari putaran bumi. Tapi saat ini bumi telah berhenti dan kehidupan benar-benar menjadi puisi. Dia bisa direka sesuka hati. Dia bisa di tata dari bait-bait diksi.
Tangan kami menaut kian erat memintas ruang dan waktu. Mata kami saling mengerling. Langkah kami seirama menaiki anak-anak tangga menuju ruang di atas awang.
Di luar langit masih berjelaga. Gerimis kembali turun dan menderas.
Kinanti bertanya tentang istri yang membuatku mendesah kelu dan menguak fragmen alam nyata. Dadaku perih terpilin sesal yang tak semestinya. Egoku menggeram menyembunyikan kesadaran.
“Dalam hidupku tak kujumpai wanita yang menyukai puisi sebelum ini,” ujarku. Tidak, batinku berteriak. Aku pernah menjumpainya, namun dia tidak menginginkanku. Aku pernah menjumpainya, namun dia memilih laki-laki lain. Yang sebenarnya adalah, aku tidak pernah menjumpai wanita yang mencintai puisi sekaligus yang menginginkanku mendampingi. “Dan aku menikahi istri karena waktu, dan kebodohanku yang meragu.”
Kehidupan bukanlah takdir. Hidup memang takdir, tapi kehidupan adalah pilihan. Sebagaimana mati adalah takdir namun kematian adalah pilihan. Rejeki adalah takdir sedang bekerja adalah pilihan. Dan jodoh memang lah takdir, tapi seorang istri, bagaimanapun, dia adalah pilihan. Dan aku telah memilih istri bertahun sebelum hari ini.
“Jangan katakan kau tak mencintainya,” mata Kinanti menuntut. Dan itu adalah mata batinku.
“Apa yang harus kukatakan?”
“Kau telah menikahinya.”
Batinku terpilin perih. “Wanita sepertimu lah yang kuinginkan dalam hidupku3.”
Sedang istriku, tidakkah aku menginginkannya dulu ketika kukatakan hendak menikahinya? Ketika kehidupan yang kupilih membawa kami bertemu. Ketika pertemuan kami membawa kesadaran akan kodrat. Manusia harus beranak pianak agar puisi hidup tidak berhenti.
“Kau telah menikahinya,” dia mengulang.
Kuteringat saat-saat itu. Ketika satu per satu teman yang seusia telah menikah, sebagian telah bermain bersama anak mereka, sementara aku masih belum menemukan gadis idaman. Lalu kubertemu seorang wanita, yang memberiku hari-hari menyenangkan. Yang bersamaku meniti hari bersama. Dia yang kemudian membuatku mengangguk saat bertanya akankah kami menikah.
Wanita itu, kini menjadi istriku. Menjadi ibu dari anak-anakku. Namun tak pernah bisa bersama menyelami untaian kata dalam puisi. Kehidupan lain yang kupunya dan kuhayati.
Kini, seorang wanita yang mencintai puisi, dan menginginkanku, kutemu saat hidupku tak lagi sendiri.
“Usiaku makin menua diambang batas,” keluhku, bersama petir yang menggelegar.
“Pernikahan tidak dibatasi usia. Kau tak akan menikahinya jika kau tidak menginginkannya.”
Untuk alasan apapun, aku memang menginginkannya. Kelebihan istriku kelewat banyak untuk selembar kertas A4. Ia adalah mahluk multisel dengan rambut gemerisik, yang malam hari, bila ia tidur, berbiak dengan anggun4.
Yang tak pernah bisa kumengerti adalah selalu masih ada rindu untuk sesuatu yang tidak istriku miliki. Dan Kinanti memilikinya.
Karena dia mencintai puisi.
Berpuluh tahun waktuku sebelum bertemu Kinanti, selaksa memori yang akhirnya bertepi. Memberi sela untuk menyisipkan sebait puisi di tengah hujan dan langit yang kelam. Kurengkuh Kinanti seperti bocah merengkuh mainan yang selalu membayang di pelupuk dan akhirnya bisa memiliki.
Tapi tak bisa aku seutuhnya memiliki. Dia hanyalah sebait puisi. Dia ada karena aku menautkannya dalam benak. Karena aku membawanya serta di labirin otak. Dia tertinggal di sana, bertahta, masih dengan senyum dan binar mata yang menggoda.
Mata kami beradu dalam pijar birahi. Menggulung dalam desah napas. Mencabik-cabik kesadaran. Aku terhanyut dan kian alpa. Siapa aku, siapa dia. Yang ada kini jiwa yang dahaga dan menemu oase di padang pasir kehidupan.
Dalam ruang di atas awang, di antara gerimis yang melebat dan waktu yang terhenti, aku menyibak kain dan mendekap. Berbisik puisi dan menjalin puisi. Saling mengetuk, saling memasuki5.
Penghianatan Adam atas sabda Tuhan-Nya membuat dia diturunkan ke bumi. Dan penghianatanku ini, menebar rasa perih mengusik nurani.
***
Goncangan perlahan menggoyang tubuhku. Aku masih memeluk Kinanti. Yang kini menjelma menjadi guling basah oleh keringat. Dan jutaan sperma berenang tanpa menemu labuhan hingga mati tercecer di selangka.
“Sudah siang, Mas. Katanya hari ini ada kapal hendak berangkat?” kata istriku, dalam waktu yang kembali mengada setelah terhenti di putaran mimpi. Dan ruang kembali menyekat setelah menisbi.
Aku kembali dalam puisi hidupku yang harus kurajut. Karena sesungguhnya aku telah menjadi kata dalam puisi hidup bersama istri dan anak-anak yang tidak mencintai puisi.
Tapi aku tak ingin merusak puisi hidup kami dengan memaksa Kinanti hadir senyata. Meski ia masih hidup di relung labirin benak, aku tak pernah bertemu lagi dengan Kinanti dan tak pernah mencari. Perbincangan bersamanya hanyalah imaji. Waktu yang terselam berdua dalam birahi hanyalah mimpi. Bahkan namanya pun kureka sendiri.
Yang ada, wanita itu pergi setelah sebuah mobil menghampiri. Yang ada, perkataan terakhirnya sebelum pergi adalah: “Aku mencintai puisi.”
***
00:22 waktu rumah imaji: untuk seseorang yang mengajakku berpuisi.
Umbu Landu Paranggi, dalam esai Wayan Sunarta.
Rondeau, Hans Magnus Enzensberger, diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono.
Kalimat ini pernah kutemui entah di mana.
Kelebihan Istriku, Hans Magnus Enzensberger, diterjemahkan oleh Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono.
Di dalam Hujam, Abdul Wachid B.S..
Dimuat di KEDAULATAN RAKYAT BISNIS 13 Desember 2009
ETOS KEWIRAUSAHAAN
TELAAH
ETOS KEWIRAUSAHAAN
Oleh: Aveus Har
Ada tiga pilihan bagi lulusan sekolah. Pertama adalah melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Pilihan ke dua menjadi karyawan di instansi negeri atau swasta. Terakhir, pilihan yang lebih karena tidak bisa memilih dua sebelumnya, adalah menjadi pengangguran ‘terhormat’.
Ironis memang. Kenyataannya, lulusan sekolah tidak melirik pilihan lain di luar ketiga pilihan tersebut yakni menjadi wirausahawan. Membayangkan seorang sarjana berjibaku dengan gerobak bakso misalnya, terasa sebagai mimpi yang mengerikan. Yusran Pora (2004) menulis bahwa kita lebih cenderung mengejar status alih-alih kemandirian.
Peserta didik di sekolah (dasar sampai tinggi) memang cenderung mengajarkan kita menjadi karyawan. Padahal negara tahu bahwa menyediakan lahan pekerjaan untuk semua lulusan sekolah yang membanjir adalah kemustahilan. Maka, ketika tiba saatnya para peserta didik lulus, berbondong-bondonglah mereka menuju Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) untuk mendapatkan kartu kuning. Dan berlembar-lembar ijasah dipotokopi, dilegalisir, dikirim ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan kerja.
Jika ada 300 pelamar untuk satu posisi karyawan yang lowong, bagaimana nasib 299 lainnya? Menunggu ada lowongan lain, dengan penuh harap ijasah ‘pendidikan terakhir’ yang telah dicapainya akan memberinya pangkat/jabatan di lain waktu atau lain tempat.
Gambaran ini terasa akrab di lingkungan kita. Atau bahkan membuat kita tersenyum giris karena kita tahu ada yang salah dengan pola pikir namun tidak berani mendobrak paradigma lulusan sekolah tersebut.
Budaya Wirausahawan
Melongok ke Taiwan, banyak produk-produk mereka yang membanjiri pasar Indonesia. Produk-produk tersebut bukan berasal dari pabrik-pabrik besar melainkan dari Usaha Kecil Menengah (UKM). Di negeri ini lebih dari 90% perusahaannya merupakan UKM. Bagaimana bisa sehebat itu?
Taiwan berkembang dengan suatu kebudayaan bisnis dalam masyarakatnya. Kewirausahaan adalah jiwa orang Cina. Mereka lebih bangga menjadi wirausahawan daripada menjadi pegawai/karyawan. Ini berkebalikan dengan Indonesia.
Barangkali, kita memang telah terbiasa dijajah sehingga budaya yang menjadi jiwa kita adalah budaya masyarakat terjajah. Mental kita adalah mental abdi. Ironisnya, sekolah yang sepatutnya menjadi lokomotif perubahan, justru membudidayakan jiwa abdi ini bagi peserta didiknya. Paradigma ‘lulus dengan nilai bagus dan dapatkan pekerjaan yang baik’ merupakan akumulasi pengertian pintar di sekolah. Tak berlebihan jika banyak pakar kewirausahaan menyeru untuk keluar dari sekolah.
Sayangnya, keluar begitu saja dari sekolah tidak menyelesaikan masalah jika paradigma yang tertanam tidak berubah. Menjadi wirausahawan membutuhkan karakter dan pola pikir yang berbeda dari apa yang telah didapat di sekolah.
Belum terlambat bagi kita untuk mengubah pola pikir tersebut. Pendidikan sekolah dasar merupakan awalan dari rangkaian jenjang pendidikan ke depan. Namun kita tahu, banyak peserta didik yang hanya bisa mengenyam pendidikan dasar dalam hidupnya. Demikian maka memberikan pendidikan kewirausahaan mulai sekolah dasar adalah sarana yang tepat untuk mulai menanamkan etos kewirausahaan.
Kewirausahaan bukan sekedar ilmu hapalan. Maka ketika memasukkan Pendidikan Kewirausahaan ke dalam kurikulum sekolah dasar, ada yang harus berubah pada paradigma sang pengajar. Benar dan salah bagi ilmu kewirausahaan bukan harga mati sebagaimana ilmu eksakta. Pengajar pendidikan kewirausahaan dituntut untuk lebih kreatif, inovatif dan terbuka.
Pendidikan Kewirausahaan ini pada gilirannya akan menjadikan peserta didik menjadi pelajar yang tangguh, bukan robot yang hanya bermental program. Mereka akan menjadi orang yang berani mencoba, mencari peluang baru, terbuka pada kritik dan saran.
Kalaupun kelak menjadi pegawai/karyawan (karena bagaimanapun dunia usaha membutuhkan karyawan), mental kewirausahaan yang dimiliki peserta didik akan dapat menunjang kemajuan perusahaan dengan semangat dan kreatifitasnya. Jikalaupun kelak tidak ada yang bersedia menjadi karyawan, kita bisa mengimpor tenaga kerja dari negara lain alih-alih mengimpor produk dan mengeskpor buruh ke sana. Kita bukan lagi menjadi negara konsumtif melainkan produktif.
Sebagai sebuah karakter, kewirausahaan terbentuk dalam waktu yang panjang. Memberikan pendidikan kewirausahaan sejak sekolah dasar merupakan pondasi yang bijak untuk mempersiapkan generasi mendatang menghadapi tantangan jaman. Ini bukan perkara mudah. Namun serumit apapun, selalu ada jalan jika kita bersedia mencarinya dan tidak takut akan perubahan.
Karena jika takut akan perubahan, untuk apa waktu berjalan?
***
AVEUS HAR,
Penulis adalah pengamat masalah sosial di Sintren Institute dan penggiat di Komunitas Rumah Imaji Pekalongan
Dimuat di KEDAULATAN RAKYAT BISNIS 1 November 2009
BERCERMIN PADA AIR SUNGAI
FORUM
dimuat di kompas jateng edisi 28 september 2009
Bercermin pada Air Sungai
Oleh: Aveus Har
Air sungai yang jernih niscaya bisa menjadi cermin. Kita bisa melihat bayangan diri yang terpantul dari permukaan air tersebut. Namun, di Pekalongan, air sungai sebagai cermin tidaklah harus jernih. Karena dari ketidakjernihannya itulah geliat perekonomian warga Pekalongan bisa tercermin.
Adalah masalah klasik yang sudah menahun. Anekdot ‘tak harus ke Dieng untuk menyaksikan Ttelaga Wwarna’ telah menjadi lelucon yang tidak lagi lucu. Warna-warni air sungai di Pekalongan adalah warna-warni limbah batik yang berbahaya. Ditengarai kandungan limbah tersebut berpotensi mengakibatkan kanker.
Limbah yang mencemari sungai Pekalongan berasal dari pabrik besar dan industri kecil. Pengawasan pabrik besar cenderung lebih mudah karena keberadaan mereka terdata. Pemkot Pemerintah Kota Pekalongan harus bisa bertindak tegas pada terhadap pabrik besar yang belum mempunyai Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) maupun yang telah memiliki namun tidak melaksanakan pengolahan dengan semestinya. Namun, bagaimana dengan keberadaan industri batik kecil?
Pemerintah kotaPemkot Pekalongan memang telah berupaya keras dalam mengatasi pencemaran sungai dari industri kecil ini termasuk dengan pembuatan Unit Pengelolaan Limbah (UPL) di Kelurahan Jenggot. Meskipun disinyalir belum memadai karena limbah dari industri batik lebih besar dari kapasitas UPL, langkah tersebut akan menjadi sia-sia jika pola berpikir pengusaha kecil belum diarahkan dalam pemeliharaan lingkungan hidup.
Membangun pola pikir (mindset) pengrajin/pengusaha batik yang berwawasan lingkungan inilah yang akan kita urai dalam tulisan pendek ini.
Batik adalah Hidup
Meskipun di banyak kota lain (Solo, Jogja, maupun pesisir lain seperti Cirebon, Lasem, Sidoarjo) mempunyai industri batik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Pekalongan terkenal sebagai ‘pemilik’ batik. Batik tidak hanya menjadi slogan yang merupakan kependekan dari Bersih, Aman, Tertib, Indah dan Komunikatif, tetapi telah menjadi ‘hidup’ masyarakat Pekalongan. Hal ini dikarenakan batik menjadi sumber ekonomi sebagian besar masyarakat Pekalongan yang bisa dilihat dari banyaknya masyarakat warga yang bekerja dalam proses produksi batik, baik itu menjadi buruh maupun juragan batik.
Di Pekalongan terdapat ratusan industri kecil batik. Sebagian industri kecil tersebut menerima order dari industri yang lebih besar untuk mengerjakan sebagian proses pengerjaan batik. Banyak industri kecil ini yang mengerjakan pewarnaan secara turun temurun. Sebagian besar industri kecil batik ini membuang limbahnya ke sungai. Para pengrajin kecil ini seolah tidak peduli akan dampak pencemaran meskipun mereka tahu air sungai di dekat rumah mereka (atau air selokan depan rumah) berwarna pekat dan berbau menyengat.
Menyalahkan tindakan pengrajin kecil batik ini bukanlah sebuah langkah bijak. Hal yang patut dipikirkan adalah mengapa mereka tidak mempedulikan dampak tersebut itu? Rata-rata pengusaha batik kecil ini mengejar kuantitas garapan mereka. Hal ini terjadi karena pola pikir pengrajin perajin batik kecil di Pekalongan masih sebagai buruh yang kejar setoran. Budaya persaingan antarsesama pengrajin perajin adalah mengejar kuantitas sebesar mungkin dengan harga serendah mungkin. Dengan paradigma semacam ini, susah diharapkan para pengrajin batik kecil untuk memikirkan dampak limbah buangan mereka.
Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk melihat lebih jelas permasalahan tidak sehatnya persaingan pengrajin batik kecil di Pekalongan. Namun, dari pengejaran kuantitas tersebut bisa kita dapatkan gambaran bahwa budaya bisnis para pengrajin perajin kecil ini menyumbang rangkaian sebab tercemarnya sungai dari limbah batik.
Dalam ranah ini, sangat dibutuhkan peran serta pemerintah lewat dinas perindustrian dan usaha mikro kecil dan menengah untuk memberikan bimbingan dan pengarahan agar tercipta budaya persaingan industri yang sehat.
Masyarakat religius
Masyarakat Pekalongan adalah masyarakat religius. Meski demikian, ketaatan masyarakat dalam menjalankan agamanya masih dalam tataran benar-benar percaya pada agama (Islam). Hal ini tampak dari banyaknya tempat ibadah dan ramainya kegiatan keagamaan semacam pengajian dan majelis taklim.
Sementara itu di luar ibadah ritual dan kegiatan keagamaan, masyarakat religius di Pekalongan ini belum menampakkan wujud yang optimal. Ajaran an nadhafatu minal iman belum mewujud dalam perilaku menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Tokoh-tokoh agama (Islam) menjadi panutan dalam masyarakat Pekalongan. Bahkan, kata-kata mereka lebih ‘”didengar”’ daripada pamong praja. Di berbagai mushola mushala maupun majelis taklim sering diadakan pengajian. Hal ini kiranya bisa menjadi salah satu cara menanamkan pola pikir berwawasan lingkungan hidup. Para tokoh agama ini bisa dioptimalkan peran sertanya. Peran serta para tokoh agama ini bisa dioptimalkan.
Lewat pengajian yang menjadikannya sebagai penceramah ataupun lewat majelis-majelis, beliau-beliau ini seyogyanya seyogianya memberikan pula anjuran dan arahan bagaimana masyarakat harus menjaga lingkungan sekitar terutama sungai dan selokan dari pencemaran limbah. Untuk itu, diperlukan koordinasi yang melibatkan para pemuka agama ini dalam menciptakan pola pikir sadar lingkungan sebagai bagian dari ibadah.
Budaya malu
Anekdot yang tidak lagi lucu di awal tulisan ini adalah bukti rendahnya budaya malu masyarakat pengrajin perajin batik di Pekalongan. Bahkan, jika terjadi keluhan tetangga yang air sumurnya tercemar, sebagian pengrajin perajin memilih pura-pura tuli. Terkadang tetangga tidak berani mengeluh karena pengrajin perajin tersebut adalah orang yang banyak menyumbang banyak untuk pembangunan sarana lingkungan. Hal ini karena budaya ewuh pakewuh yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dengan mengoptimalkan peran pemuka masyarakat, pendidikan ‘tahu malu’ ini seyogyanya seyogianya ditanamkan dalam masyarakat. Cara mencari nafkah adalah hak tiap orang, namun mencemari lingkungan adalah kezaliman.
Demikianlah, maka mengharapkan sungai Pekalongan tidak lagi tercemar adalah keniscayaan di masa yang akan datang. Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) hanyalah salah satu pemegang peranan dalam mengawasi dan mengendalikan limbah di sungai. Membangun pola pikir pengrajin perajin berwawasan lingkungan memerlukan kerja yang terkoordinasi dari instansi lain, tokoh agama, pemuka masyarakat, dan peran serta seluruh warga terutama sepanjang alur sungai untuk menumbuhkan budaya malu.
Di samping itu juga dibutuhkan kerja sama lintas pemerintahan karena sungai yang membelah kota Pekalongan sebelumnya juga melintasi kabupaten Pekalongan. Dan wilayah kabupaten Pekalongan di sepanjang aliran sungai pun banyak pengrajin perajin batik.
Kelak, kita masih bisa bercermin pada sungai Pekalongan. Jika sungainya berwarna, itu pertanda masyarakat belum sadar lingkungan. Jika jernih, itu pertanda masyarakat telah sadar lingkungan. Dan industri batik terus berkembang dalam kondisi persaingan yang sehat.
AVEUS HAR,
Penulis adalah pengamat masalah sosial di Sintren Institute dan penggiat di Komunitas Rumah Imaji Pekalongan