Sabtu, Desember 26, 2009

ETOS KEWIRAUSAHAAN

TELAAH


ETOS KEWIRAUSAHAAN
Oleh: Aveus Har


Ada tiga pilihan bagi lulusan sekolah. Pertama adalah melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Pilihan ke dua menjadi karyawan di instansi negeri atau swasta. Terakhir, pilihan yang lebih karena tidak bisa memilih dua sebelumnya, adalah menjadi pengangguran ‘terhormat’.
Ironis memang. Kenyataannya, lulusan sekolah tidak melirik pilihan lain di luar ketiga pilihan tersebut yakni menjadi wirausahawan. Membayangkan seorang sarjana berjibaku dengan gerobak bakso misalnya, terasa sebagai mimpi yang mengerikan. Yusran Pora (2004) menulis bahwa kita lebih cenderung mengejar status alih-alih kemandirian.
Peserta didik di sekolah (dasar sampai tinggi) memang cenderung mengajarkan kita menjadi karyawan. Padahal negara tahu bahwa menyediakan lahan pekerjaan untuk semua lulusan sekolah yang membanjir adalah kemustahilan. Maka, ketika tiba saatnya para peserta didik lulus, berbondong-bondonglah mereka menuju Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) untuk mendapatkan kartu kuning. Dan berlembar-lembar ijasah dipotokopi, dilegalisir, dikirim ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan kerja.
Jika ada 300 pelamar untuk satu posisi karyawan yang lowong, bagaimana nasib 299 lainnya? Menunggu ada lowongan lain, dengan penuh harap ijasah ‘pendidikan terakhir’ yang telah dicapainya akan memberinya pangkat/jabatan di lain waktu atau lain tempat.
Gambaran ini terasa akrab di lingkungan kita. Atau bahkan membuat kita tersenyum giris karena kita tahu ada yang salah dengan pola pikir namun tidak berani mendobrak paradigma lulusan sekolah tersebut.

Budaya Wirausahawan
Melongok ke Taiwan, banyak produk-produk mereka yang membanjiri pasar Indonesia. Produk-produk tersebut bukan berasal dari pabrik-pabrik besar melainkan dari Usaha Kecil Menengah (UKM). Di negeri ini lebih dari 90% perusahaannya merupakan UKM. Bagaimana bisa sehebat itu?
Taiwan berkembang dengan suatu kebudayaan bisnis dalam masyarakatnya. Kewirausahaan adalah jiwa orang Cina. Mereka lebih bangga menjadi wirausahawan daripada menjadi pegawai/karyawan. Ini berkebalikan dengan Indonesia.
Barangkali, kita memang telah terbiasa dijajah sehingga budaya yang menjadi jiwa kita adalah budaya masyarakat terjajah. Mental kita adalah mental abdi. Ironisnya, sekolah yang sepatutnya menjadi lokomotif perubahan, justru membudidayakan jiwa abdi ini bagi peserta didiknya. Paradigma ‘lulus dengan nilai bagus dan dapatkan pekerjaan yang baik’ merupakan akumulasi pengertian pintar di sekolah. Tak berlebihan jika banyak pakar kewirausahaan menyeru untuk keluar dari sekolah.
Sayangnya, keluar begitu saja dari sekolah tidak menyelesaikan masalah jika paradigma yang tertanam tidak berubah. Menjadi wirausahawan membutuhkan karakter dan pola pikir yang berbeda dari apa yang telah didapat di sekolah.
Belum terlambat bagi kita untuk mengubah pola pikir tersebut. Pendidikan sekolah dasar merupakan awalan dari rangkaian jenjang pendidikan ke depan. Namun kita tahu, banyak peserta didik yang hanya bisa mengenyam pendidikan dasar dalam hidupnya. Demikian maka memberikan pendidikan kewirausahaan mulai sekolah dasar adalah sarana yang tepat untuk mulai menanamkan etos kewirausahaan.
Kewirausahaan bukan sekedar ilmu hapalan. Maka ketika memasukkan Pendidikan Kewirausahaan ke dalam kurikulum sekolah dasar, ada yang harus berubah pada paradigma sang pengajar. Benar dan salah bagi ilmu kewirausahaan bukan harga mati sebagaimana ilmu eksakta. Pengajar pendidikan kewirausahaan dituntut untuk lebih kreatif, inovatif dan terbuka.
Pendidikan Kewirausahaan ini pada gilirannya akan menjadikan peserta didik menjadi pelajar yang tangguh, bukan robot yang hanya bermental program. Mereka akan menjadi orang yang berani mencoba, mencari peluang baru, terbuka pada kritik dan saran.
Kalaupun kelak menjadi pegawai/karyawan (karena bagaimanapun dunia usaha membutuhkan karyawan), mental kewirausahaan yang dimiliki peserta didik akan dapat menunjang kemajuan perusahaan dengan semangat dan kreatifitasnya. Jikalaupun kelak tidak ada yang bersedia menjadi karyawan, kita bisa mengimpor tenaga kerja dari negara lain alih-alih mengimpor produk dan mengeskpor buruh ke sana. Kita bukan lagi menjadi negara konsumtif melainkan produktif.
Sebagai sebuah karakter, kewirausahaan terbentuk dalam waktu yang panjang. Memberikan pendidikan kewirausahaan sejak sekolah dasar merupakan pondasi yang bijak untuk mempersiapkan generasi mendatang menghadapi tantangan jaman. Ini bukan perkara mudah. Namun serumit apapun, selalu ada jalan jika kita bersedia mencarinya dan tidak takut akan perubahan.
Karena jika takut akan perubahan, untuk apa waktu berjalan?
***


AVEUS HAR,
Penulis adalah pengamat masalah sosial di Sintren Institute dan penggiat di Komunitas Rumah Imaji Pekalongan

Dimuat di KEDAULATAN RAKYAT BISNIS 1 November 2009

Tidak ada komentar: