Sabtu, Desember 26, 2009

BERCERMIN PADA AIR SUNGAI

FORUM
dimuat di kompas jateng edisi 28 september 2009



Bercermin pada Air Sungai

Oleh: Aveus Har



Air sungai yang jernih niscaya bisa menjadi cermin. Kita bisa melihat bayangan diri yang terpantul dari permukaan air tersebut. Namun, di Pekalongan, air sungai sebagai cermin tidaklah harus jernih. Karena dari ketidakjernihannya itulah geliat perekonomian warga Pekalongan bisa tercermin.
Adalah masalah klasik yang sudah menahun. Anekdot ‘tak harus ke Dieng untuk menyaksikan Ttelaga Wwarna’ telah menjadi lelucon yang tidak lagi lucu. Warna-warni air sungai di Pekalongan adalah warna-warni limbah batik yang berbahaya. Ditengarai kandungan limbah tersebut berpotensi mengakibatkan kanker.
Limbah yang mencemari sungai Pekalongan berasal dari pabrik besar dan industri kecil. Pengawasan pabrik besar cenderung lebih mudah karena keberadaan mereka terdata. Pemkot Pemerintah Kota Pekalongan harus bisa bertindak tegas pada terhadap pabrik besar yang belum mempunyai Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) maupun yang telah memiliki namun tidak melaksanakan pengolahan dengan semestinya. Namun, bagaimana dengan keberadaan industri batik kecil?
Pemerintah kotaPemkot Pekalongan memang telah berupaya keras dalam mengatasi pencemaran sungai dari industri kecil ini termasuk dengan pembuatan Unit Pengelolaan Limbah (UPL) di Kelurahan Jenggot. Meskipun disinyalir belum memadai karena limbah dari industri batik lebih besar dari kapasitas UPL, langkah tersebut akan menjadi sia-sia jika pola berpikir pengusaha kecil belum diarahkan dalam pemeliharaan lingkungan hidup.
Membangun pola pikir (mindset) pengrajin/pengusaha batik yang berwawasan lingkungan inilah yang akan kita urai dalam tulisan pendek ini.

Batik adalah Hidup
Meskipun di banyak kota lain (Solo, Jogja, maupun pesisir lain seperti Cirebon, Lasem, Sidoarjo) mempunyai industri batik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Pekalongan terkenal sebagai ‘pemilik’ batik. Batik tidak hanya menjadi slogan yang merupakan kependekan dari Bersih, Aman, Tertib, Indah dan Komunikatif, tetapi telah menjadi ‘hidup’ masyarakat Pekalongan. Hal ini dikarenakan batik menjadi sumber ekonomi sebagian besar masyarakat Pekalongan yang bisa dilihat dari banyaknya masyarakat warga yang bekerja dalam proses produksi batik, baik itu menjadi buruh maupun juragan batik.
Di Pekalongan terdapat ratusan industri kecil batik. Sebagian industri kecil tersebut menerima order dari industri yang lebih besar untuk mengerjakan sebagian proses pengerjaan batik. Banyak industri kecil ini yang mengerjakan pewarnaan secara turun temurun. Sebagian besar industri kecil batik ini membuang limbahnya ke sungai. Para pengrajin kecil ini seolah tidak peduli akan dampak pencemaran meskipun mereka tahu air sungai di dekat rumah mereka (atau air selokan depan rumah) berwarna pekat dan berbau menyengat.
Menyalahkan tindakan pengrajin kecil batik ini bukanlah sebuah langkah bijak. Hal yang patut dipikirkan adalah mengapa mereka tidak mempedulikan dampak tersebut itu? Rata-rata pengusaha batik kecil ini mengejar kuantitas garapan mereka. Hal ini terjadi karena pola pikir pengrajin perajin batik kecil di Pekalongan masih sebagai buruh yang kejar setoran. Budaya persaingan antarsesama pengrajin perajin adalah mengejar kuantitas sebesar mungkin dengan harga serendah mungkin. Dengan paradigma semacam ini, susah diharapkan para pengrajin batik kecil untuk memikirkan dampak limbah buangan mereka.
Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk melihat lebih jelas permasalahan tidak sehatnya persaingan pengrajin batik kecil di Pekalongan. Namun, dari pengejaran kuantitas tersebut bisa kita dapatkan gambaran bahwa budaya bisnis para pengrajin perajin kecil ini menyumbang rangkaian sebab tercemarnya sungai dari limbah batik.
Dalam ranah ini, sangat dibutuhkan peran serta pemerintah lewat dinas perindustrian dan usaha mikro kecil dan menengah untuk memberikan bimbingan dan pengarahan agar tercipta budaya persaingan industri yang sehat.

Masyarakat religius
Masyarakat Pekalongan adalah masyarakat religius. Meski demikian, ketaatan masyarakat dalam menjalankan agamanya masih dalam tataran benar-benar percaya pada agama (Islam). Hal ini tampak dari banyaknya tempat ibadah dan ramainya kegiatan keagamaan semacam pengajian dan majelis taklim.
Sementara itu di luar ibadah ritual dan kegiatan keagamaan, masyarakat religius di Pekalongan ini belum menampakkan wujud yang optimal. Ajaran an nadhafatu minal iman belum mewujud dalam perilaku menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Tokoh-tokoh agama (Islam) menjadi panutan dalam masyarakat Pekalongan. Bahkan, kata-kata mereka lebih ‘”didengar”’ daripada pamong praja. Di berbagai mushola mushala maupun majelis taklim sering diadakan pengajian. Hal ini kiranya bisa menjadi salah satu cara menanamkan pola pikir berwawasan lingkungan hidup. Para tokoh agama ini bisa dioptimalkan peran sertanya. Peran serta para tokoh agama ini bisa dioptimalkan.
Lewat pengajian yang menjadikannya sebagai penceramah ataupun lewat majelis-majelis, beliau-beliau ini seyogyanya seyogianya memberikan pula anjuran dan arahan bagaimana masyarakat harus menjaga lingkungan sekitar terutama sungai dan selokan dari pencemaran limbah. Untuk itu, diperlukan koordinasi yang melibatkan para pemuka agama ini dalam menciptakan pola pikir sadar lingkungan sebagai bagian dari ibadah.

Budaya malu
Anekdot yang tidak lagi lucu di awal tulisan ini adalah bukti rendahnya budaya malu masyarakat pengrajin perajin batik di Pekalongan. Bahkan, jika terjadi keluhan tetangga yang air sumurnya tercemar, sebagian pengrajin perajin memilih pura-pura tuli. Terkadang tetangga tidak berani mengeluh karena pengrajin perajin tersebut adalah orang yang banyak menyumbang banyak untuk pembangunan sarana lingkungan. Hal ini karena budaya ewuh pakewuh yang telah mengakar dalam masyarakat.
Dengan mengoptimalkan peran pemuka masyarakat, pendidikan ‘tahu malu’ ini seyogyanya seyogianya ditanamkan dalam masyarakat. Cara mencari nafkah adalah hak tiap orang, namun mencemari lingkungan adalah kezaliman.
Demikianlah, maka mengharapkan sungai Pekalongan tidak lagi tercemar adalah keniscayaan di masa yang akan datang. Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) hanyalah salah satu pemegang peranan dalam mengawasi dan mengendalikan limbah di sungai. Membangun pola pikir pengrajin perajin berwawasan lingkungan memerlukan kerja yang terkoordinasi dari instansi lain, tokoh agama, pemuka masyarakat, dan peran serta seluruh warga terutama sepanjang alur sungai untuk menumbuhkan budaya malu.
Di samping itu juga dibutuhkan kerja sama lintas pemerintahan karena sungai yang membelah kota Pekalongan sebelumnya juga melintasi kabupaten Pekalongan. Dan wilayah kabupaten Pekalongan di sepanjang aliran sungai pun banyak pengrajin perajin batik.
Kelak, kita masih bisa bercermin pada sungai Pekalongan. Jika sungainya berwarna, itu pertanda masyarakat belum sadar lingkungan. Jika jernih, itu pertanda masyarakat telah sadar lingkungan. Dan industri batik terus berkembang dalam kondisi persaingan yang sehat.
AVEUS HAR,
Penulis adalah pengamat masalah sosial di Sintren Institute dan penggiat di Komunitas Rumah Imaji Pekalongan

Tidak ada komentar: