Sabtu, Januari 31, 2009

saat-saat sulit menulis

Selalu, ada saat-saat di mana aku merasa susah menulis. Saat di mana ide-ide berjumpalitan di ruang benakku, bergerak liar menggedor-gedor selaput otak, mencari jalan keluar namun tak menemu. Hingga otak terasa pepat. Dan kepalaku berderak-derai bagai onderdil mesin kekurangan oli. Atau bermagma bagai gunung berapi menunggu waktu meletus.

Saat ini, ide-ide itu tak mampu kuunyah dalam sekedipan mata. Dan aku merasa seperti orang gila. Kadang terlamun. Kadang terlolong. Kadang menjerit tanpa suara. Magma itu tak jua meletus.

Karena sesungguhnya yang dibutuhkan adalah jemari yang siap menari mengikuti apa saja yang ingin tumpah. Namun kenapa tak juga bisa tumpah? Adakah aku kembali menjadi hakim bagi partikel-partikel ide, menyaring dengan ketatnya mana boleh meletus dan dalam kondisi sematang apa?

Berapa kali komputer kunyalakan namun lagi-lagi mouse mengarah pada file-file penuh coretan kata yang tak berujung dan aku terpaku di hadapannya?

Atau membuka program aplikasi kata namun tak juga mengetikkan satu kata pun tanpa aku hapus setelahnya?

Ayolah, jangan percaya bahwa selalu ada saat sulit untuk menulis hingga menjadikan saat-saat seperti ini sebagai alasan pembenaran untuk tidak menulis. Percayalah bahwa sekarang ini kamu tengah menulis meski itu bukan cerpen untuk koran seperti yang kau inginkan atau novel atau buku non fiksi.

Setidaknya kamu menulis, Ve. Tapi jangan berhenti sebelum ide-idemu tumpah meruah dalam lembar-lembar putih pengolah kata. Jikalau pun tak selesai malam ini, karena rasa capek setelah seharian kerja, percayalah, kamu bisa menyelesaikannya jika kamu menuliskannya. Namun tak akan pernah usai jika tak pernah pula kau tuliskan.

Apa yang akan kau tumpahkan lebih dulu? Menulis untuk buku non fiksi, melanjutkan novel setengah jadi, atau menulis cerpen yang lama nian tidak lagi muncul di lembar media massa?

Sudahi membacamu. Kini saatnya menulis.

Rabu, Januari 07, 2009

QUO VADIS KRI?

QUO VADIS KRI?

Ahad (4/1/09) kemarin Siti Khuzaiyah ngajakin ketemuan di rumah Adi Toha alias Jalaindra. Melongok rumah baca yang namanya kulupa buat nanyain. Rumah baca itu hanya ada satu rak. Tapi buku-bukunya bikin ‘liur baca’-ku mengliur. Bukunya keren-keren. Meski sayangnya kulagi males buat pinjem (hal yang sebenarnya adalah kumales buat ngembaliin kalau minjem…J). Jadi begitulah, kucuma baca-baca sekilas di sela obrolan gayeng.

Siti Khuzaiyah ngungkapin kalau dia sebenarnya pingin nulis buat blog KRI ini tentang nasib KRI paska pernikahan sang koordinator alias diriku ini tapi takut aku tersinggung. Aku sih cuma ketawa aja dan malah bilang, “tulis aja gak pa-pa kok!”. Itu bagian dari demokrasi, kan?

Dan bahasa Jalaindra adalah: “Quo vadis KRI?” (moga gak salah nulisnya). Ketakutan KRI akan terbengkelai bukan hal yang berlebihan. Karena memang selama ini KRI masih melekat pada diriku meski aku selalu bilang: “KRI adalah kita, kita semua.” Dan meskipun aku menikah, aku tak ingin KRI mati begitu saja.

Kenapa KRI seperti jalan di tempat? Kurasa, alasan klise yang tampak adalah kurangnya rasa memiliki KRI itu. Jadi seolah KRI adalah one man show. Padahal apa sih yang bisa ave lakukan tanpa teman-teman lain?

KRI memang organisasi lepas, tidak mengikat anggotanya. Siapa aja boleh bergabung dan boleh hengkang. Siapa aja boleh berkontribusi dan boleh sekedar pingin tahu. Tapi sungguh, aku selalu ingin KRI bergerak dengan kita semua sebagai motornya. Posisi koordinator hanyalah sebagai perangkum dari kehebatan teman-teman semua.

Makanya KRI butuh teman-teman yang mau bersuka dan berela untuk mencurahkan pikiran. Karena sebagai rumah, KRI akan hidup dan rame dengan keberadaan penghuninya yang beraktifitas bersama.

Blog ini adalah wadah. Teman-teman diharapkan mengisinya dengan tulisan apapun sebagai bagian dari komunikasi kita. Kirim saja via imel ke rumahimaji@gmail.com. Dan kami akan menerbitkannya.

Dari perbincangan di rumah bacanya jalaindra itu kita kembali membicarakan kegiatan KRI. Salah satunya adalah keinginan menerbitkan selebaran penulisan kreatif yang akan menjadi wadah komunikasi yang nantinya dibagikan ke sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi penulisan kreatif lain seperti FLP Pekalongan.

Kami butuh bantuan teman-teman semua, baik menyangkut dana (kita patungan yuk!), tulisan (nggak lucu kalau selebaran itu kosong kan?), maupun pendistribusian.

Aduh … kok aku nggak bisa nulis yang lebih enak nih buat diposting kali ini. Ya udah lah, tunggu aja kabar selanjutnya.

Yang jelas, KRI belum mati selama kita semua masih menghuni dan berinteraksi di dalamnya.