Senin, Januari 28, 2008

"Materi dan Tugas 10 Februari 2008"

Teman, utk materi pertemuan berikutnya kita akan mengupas tulisan teman-teman dari SMA Lampung yang dimuat di Kaki Langit dan sekaligus ulasan dari Agus R. Sarjono yang kita kutipkan di bawah ini:

Sajak kaki langit 132/Desember 2007
SMA N 1 Lemong Lampung Barat

Cinta

Cinta
di manakah engkau berada
dapatkah engkau masuk ke dalam hatiku
hingga aku merasakan arti hadirmu

Cinta
engkau senangkan hati dan perasaan
walau terkadang menyakitkan

Cinta
beruntunglah insan yang memilikimu
memilikimu dengan sempurna
hingga bisa merasakan arti cinta sejati

Martin Sais

Mentari

Pagi ini
Mentari menyapaku dengan
alunan suara merdu
si cantik nuri

Pagi ini
mentari menggodaku
dengan tebaran pesona
bunga yang merekah

Pagi ini
mentari bangunkanku
dengan alunan
tembang ombak
di ujung karang

Pagi ini
mentari memancarkan cahaya
buka pintu
kehidupan baruku

Heryanti

Hujan

Tetesan air mata alam
Yang membawa nikmat
Juga melarat

Sri Herlina


Mari Menggila
Agus R. Sarjono
kaki langit 132/Desember 2007


Setiap manusia sedikit banyak memiliki kegilaan dalam dirinya. Wright bersaudara pernah dianggap gila karena tak putus-putus mencoba terbang. Kalau saja dia hidup sebagai orang “baik-baik”, yakni hidup formal sebagaimana manusia kebanyakan, boleh jadi pesawat udara tidak secepat itu menjadi kenyataan. Kegilaan kreatif adalah mencoba melihat dunia dari sisi berbeda, mencari kemungkinan-kemungkinan bagi yang rutin dan biasa. Sastra adalah bagian dari dunia pencarian kemungkinan-kemungkinan baru semacam itu, tempat kegilaan mendapat tempat dan kerap kalii menggembirakan dan memperluas batas eksistensi manusia.
Kala kita mencoba menulis puisi, mengapa kita tidak mencoba membebaskan diri dari pandangan umum dan ungkapan-ungkapan yang sudah usang? Mengapa kita tidak coba bermain-main, kalau perlu sedikit (atau banyak) menggila? Bukankah tak ada risiko dan tidak merugikan siapa-siapa?
Sajak-sajak yang tampil kali ini adalah sajak para siswa SMAN 1 Lemong, Pugung Panengahan, Lampung Barat. Sajak-saja mereka cukup menarik dan halus. Sajak “Cinta” Martin Sais menggambarkan tanggapannya tentang cinta. Gambaran tentang cinta yang dikemukakan Martin Sais merupakan gambaran yang hampir umum. Rasa damba untuk mendapatkan cinta yang sempurna, yang diandaikan pasti akan membuat beruntung mereka yang memilikinya sudah menjadi anggapan semua orang.
Sri Herlina menulis sajak alit mengenai hujan dalam goresan zikzak. Tetesan hujan sebagai air mata alam cukup indah meskipun sudah agak usang karena sering digunakan orang.
Sementara itu Heryanti menulis sajak mengenai mentari yang digambarkannya dalam empat bait dengan empat pesona: kicau burung, bunga merekah, ombak di karang, dan menuju ke kehidupan batin, yakni membuka pintu kehidupan baru. Ini juga indah tapi sudah sangat umum.
Sajak-sajak tersebut meski cukup baik tapi alangkah mudah untuk dilupakan. Mengapa? Karena kita akan membaca sajak-sajak lain semacam itu yang juga dengan mudah kita lupakan. Sekarang, mari kita mencoba menulis tema cinta, hujan dan matahari yang begitu akrab dengan kehidupan kita sehari-hari dengan cara baru. Mari kita buang gambaran cinta dengan cahaya baru, penghayatan baru, pemahaman baru, pendekatan baru. Demikian pula dengan matahari dan hujan. Sajak mengenai cinta yang umum itu mari kita tulis dalam keadaan benar-benar jatuh cinta. Orang yang sedang jatuh cinta tidak akan menulis sajak tentang cinta dengan kesimpulan-kesimpulan umum. Ia akan terbakar habis oleh api cinta, ia akan bergelora, ia akan menggila memandang alam semesta dalam kegairahan perjumpaan pertama.
Sejak kumengenalmu, kau tak mirip siapapun, kata Pablo Neruda penyair hebat dari Chili itu kepada kekasihnya. Kukupas sang waktu dari cangkangnya dan kuajari dia berjalan, ungkap Paul Celan penyair luar biasa dalam khasanah sastra Jerman. Engkau cemburu / engkau ganas / mangsa aku dalam cakarmu / bertukar tangkap dengan lepas, kata Amir Hamzah pada Tuhannya. Kekasih, kuberi sebuah granat sebagai tanda cinta kasih, ungkap Beni Setia. Di relung malam lambaianku menua / juga pandanganmu di kaca jendela / Alangkah dalam makna senja / menanggung berat perpisahan kita, gumam Jamal D Rahman. Ibu, engkaulah yang menuntunku ke jalan kupu-kupu, ungkap Abdurrahman Faiz, penyair berbakat yang masih duduk di bangku kelas 3 SD, dalam buku kumpulan puisi pertamanya.
Ungkapan-ungkapan penuh gairah dan orisinal itu tak mudah kita lupakan. Mengapa? Karena membuat kita menjumpai pengalaman-pengalaman rutin yang kita kenal dengan perspektif berbeda dan membuat kita lebih kaya.
Mari menggila! Mengapa tidak mencoba mengolah kata dengan lebih bebas dan merdeka. Mari membiasakan diri melihat dunia dengan lebih bebas dan merdeka, menyusun ungkapan-ungkapan yang segar dan tak biasa?
Selamat mencoba!


Tugas kita sekarang adalah:
Menulis puisi dengan judul dan tema "Cinta, Mentari, Hujan"
Kita boleh menulis lebih dari satu puisi utk tiap judul.
sampai ketemu dua minggu lagi

Tidak ada komentar: