Selamat Datang Sastra Pelajar Pekalongan
-Membaca Cikal, Bunga Rampai Sastra Remaja dan Pelajar -
Saya menerima buku ini dari Aveus Har, seorang pegiat sastra di Pekalongan yang juga penulis muda produktif Pekalongan, di acara “Sastra Balik Desa” di Desa Gebyok, Gunung Pati Semarang, 16 Mei 2008 silam. Di tempat itulah juga untuk pertama kalinya saya bertemu dengan awak Komunitas Rumah Imaji Pekalongan, sebuah komunitas yang bergiat dalam kerja-kerja sastra di Kabupaten Pekalongan. Saya senang mengetahui bahwa di Pekalongan ada Komunitas Rumah Imaji, dengan kerja-kerja yang telah mereka capai sampai saat ini, termasuk dengan menerbitkan –bekerjasama dengan Dewan Kesenian Daerah-sebuah bunga rampai sastra remaja dan pelajar Kabupaten Pekalongan.
Cikal, demikian buku tersebut berjudul, adalah sebuah kumpulan cerita pendek dan puisi yang ditulis oleh para pelajar dan remaja di wilayah kabupaten Pekalongan. Cerita pendek dan puisi yang masuk ke dalam buku ini telah diseleksi oleh Tim penyeleksi yang terdiri dari Komunitas Rumah Imaji dan DKD Kab. Pekalongan. Hasilnya, terdapat 12 cerpen dan 20 puisi dengan 32 pengarang yang berasal dari pelajar SMP, SMA, anggota Komunitas Rumah Imaji, dan FLP.
Meski saya cukup senang dan bangga dengan penerbitan bunga rampai ini, namun, membaca cerpen-cerpen dan puisi-puisi dalam buku ini, saya tidak menemukan sesuatu yang baru yang cukup untuk membuat saya bisa kagum pada puisi dan cerpen-cerpen tersebut. Pilihan tema yang disajikan oleh para pengarang muda ini masih berkutat di seputar kehidupan remaja dan sekolah, seputar cinta dan persahabatan, pemandangan alam, dan perasaan hati, meski ada beberapa yang sedikit menyinggung permasalahan sosial. Pun bagaimana mengolah tema menjadi sebuah cerita atau puisi, masih biasa-biasa saja. Mungkin wajar, karena buku ini adalah bunga rampai sastra remaja dan pelajar, dan bisa jadi, sebagian besar karya para pengarang yang masuk ke dalam buku ini adalah karya pertama yang mereka tulis.
Semisal cerpen dengan judul “Cehty” (ditulis oleh Widyasari, Komunitas Rumah Imaji), yang menjadi cerpen pertama dalam bunga rampai ini. Cerpen ini berkisah tentang Cehty, seorang cewek centil yang ternyata menarik perhatian Aswin, teman sekelasnya. Sudah lama Aswin menyukai Cehty, namun belum ada kesempatan atau keberanian untuk mengatakannya. Di saat Aswin dihukum oleh gurunya untuk membacakan surat cinta yang tidak seharusnya ia tulis di buku ulangannya di depan kelas, Aswin menyebut nama Cehty sebagai orang yang kepadanya surat cinta tersebut ia tuju. Padahal sebenarnya, surat cinta tersebut ditulis oleh Cehty, dan Cehty menuliskan nama Shasa, sahabat dekat Cehty, sebagai orang yang dimaksud oleh surat cinta Aswin. Cerita yang sangat biasa dan sinetronik, bukan? Demikian juga dengan cerpen “Di Balik Tudung Saji” (ditulis oleh Fandi Hidayat, Komunitas Rumah Imaji). Cerpen ini berkisah tentang kecurigaan di antara teman tentang siapakah sebenarnya yang mengambil paha ayam di balik tudung saji. Cerpen lain yang mengambil tema hampir serupa dengan dua cerpen di atas adalah “Bukan Mimpi Biasa” dan “September Ceria”.
Cerpen berjudul “Toksoplasma” (ditulis oleh Febriana Setianingsih, FLP Pekalongan) dan “Persaingan Sepatu” (ditulis oleh Fadilla Nur’ain Hafidz, FLP Pekalongan) mungkin sedikit berbeda, karena pencerita di kedua cerpen bukan sosok manusia. Dalam “Toksoplasma” kisah diceritakan oleh seekor kucing rumahan yang terusir dan menjadi kucing jalanan karena dianggap pembawa sial oleh pemiliknya. Sedangkan “Persaingan Sepatu” adalah percakapan antara sepatu bagus dan sepatu jelek tentang siapa yang sebenarnya lebih berguna bagi pemiliknya. Di kedua cerpen terlihat pengarang masih belum berani menciptakan tokoh yang keluar dari daerah amannya. Tokoh utama berakhir dengan melakukan sesuatu yang terkesan heroik bagi tokoh yang lain. Demi menghindari pengusiran untuk yang kedua kalinya, si kucing jalanan memilih untuk menyingkir manakala ‘majikan’ baru yang menampungnya mulai hamil. Si kucing terusir dari majikan pertamanya gara-gara dianggap menjadi penyebab keguguran kehamilan. Sedangkan sepatu jelek dalam cerpen “Persaingan Sepatu”, meskipun akhirnya terbuang, ia menjadi rumah baru bagi keluarga tikus. Sebuah pesan moral untuk berkorban dan berkeadilankah? Bisa jadi.
Sebuah pembacaan atas kondisi sosial masyarakat yang dilanda kemiskinan yang pada akhirnya melakukan segala cara untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun menyalahi aturan agama dan masyarakat, terlihat dalam cerpen “Masihkan Surga di Telapak Kaki Ibu?” (ditulis oleh Rina Suryani, Siswi SMAN 1 Wiradesa). Cerpen ini adalah kesaksian seorang anak yang bapaknya tertimpa kemalangan sehingga tidak mampu lagi untuk bekerja mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Sang Ibu yang tidak memiliki sumber penghasilan lagi, akhirnya melacur demi mencukupi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya. Pada akhirnya, ketika sang Ibu meninggal karena kecelakaan, sang anak mengalami kebingungan apakah ia akan mengenangnya sebagai seorang ibu yang di telapak kakinya terletak surga, ataukah sebagai perempuan pelacur yang telah mengkhianati ayahnya?
Sebuah tafsir lain atas kondisi sosial masyarakat terlihat dalam cerpen “Bunga” (ditulis oleh Fransisca Delly, Siswi SMAN 1 Kajen). Cerpen ini mengambil kesenjangan antara kota dan desa sebagai latar belakang kisah. Diceritakan seorang bunga desa yang disebut dengan nama Bunga, baru saja pulang dari kota dengan membawa seorang gadis kecil. Orang-orang desa yang berprasangka buruk menyangka gadis kecil itu adalah anak haram Bunga hasil hubungan gelapnya di kota. Pergunjingan dan kecurigaan pun cepat meluas, sampai akhirnya Bunga dibakar hidup-hidup di rumahnya karena dianggap aib bagi warga desa, tanpa bisa melakukan penjelasan siapakah sebenarnya gadis yang dibawanya dari kota. Terlihat pengarang melakukan semacam stereotipikasi terhadap masyarakat desa yang dianggapnya sebagai sebuah masyarakat barbar, tidak mengerti hukum, mudah termakan oleh fitnah dan hasutan, berpikir sempit dan berperilaku anarki. Pertentangan antara desa dan kota terlihat dari cara pandang masyarakat desa yang menganggap bahwa apa yang dibawa Bunga dari kota –gadis kecil- adalah sesuatu yang didapat dengan cara yang kotor. Desa kurang bisa memahami bahwa banyak kemungkinan yang bisa terjadi di kota. Saya curiga, jangan-jangan pengarang telah termakan modernisme kota sehingga melupakan nilai-nilai tradisional desa, di mana selalu ada kemungkinan dialog dan komunikasi antar warga dalam suasana yang lebih akrab dan guyub daripada di kota, yang secara umum telah diketahui bahwa individualisme dan hedonisme telah semakin marak.
Membaca puisi-puisi di dalam bunga rampai ini, tidak ada tawaran sesuatu yang baru dan menarik, sama dengan puisi-puisi remaja kebanyakan. Tema-tema cinta, perasaan, dan pemandangan alam menjadi sesuatu yang diulang-ulang lewat reka kata-kata tanpa mengundang perenungan makna yang lebih mendalam. Secara bentuk, sebagian besar puisi yang terdapat dalam buku ini masih terikat pada tradisi puisi lama. Pengarang menggunakan bentuk kuatrin –empat baris dalam satu bait- dengan kepatuhan rima. Terhitung sebanyak 6 dari 8 puisi yang ditulis oleh pengarang yang masih siswa SMP menggunakan bentuk 3 kuatrin dalam puisinya. Bisa jadi karena mereka sangat terpengaruh dengan pengajaran puisi yang didapat di sekolah dan sama sekali buta dengan puisi-puisi lain di luar apa
yang diajarkan di sekolah. Hal ini mungkin saja terjadi karena keterbatasan akses terhadap buku-buku atau majalah sastra di sekolah-sekolah daerah, atau karena memang pengajaran di sekolah yang tidak merangsang siswa untuk membaca buku-buku di luar buku pelajaran. Beberapa pengarang yang siswa SMA pun menggunakan bentuk yang sama dalam puisi mereka.
KUKIRIM RINDU
Kukirim puisi ini lewat angin
Yang menyanyikan rindu padamu
Membaca gelombang menjala bulan
Mengail harap mengusir cemas
Barangkali lewat puisi ini
Rindu kulunasi
Mencari kepingan bintang
Yang jatuh di padang ilalang
Memetik bunga di padang jiwa
Merangkai rindu jadi mutiara
Kupersembahkan untukmu
Atas nama Tuhan
Kuingin berbagi sepotong cinta lewat tatapanmu
Di mana rindu berguguran menjelma kupu-kupu
Dari salah satu puisi yang ditulis oleh Eliza Ayu Febriani, siswi SMAN 1 Kedungwuni, terlihat jelas bahwa ekplorasi tema, pilihan kata serta pencitraan masih biasa-biasa saja, bahkan sangat umum. Barangkali sudah tidak terhitung lagi aku-lirik yang “mengirim puisi lewat angin”, atau puisi-puisi cinta yang menggunakan kalimat “merangkai rindu jadi mutiara”, atau “rindu yang menjelma kupu-kupu”. Barangkali yang menarik dalam puisi di atas adalah si Aku-lirik yang menganggap rindu sebagai beban, sebagai hutang kepada yang dirindu, sehingga harus dilunasi, meskipun lewat puisi. Akan tetapi, menjadi agak bertentangan dengan bait terakhir, di mana persembahan atas nama Tuhan haruslah dengan penuh kerelaan tanpa beban, tanpa menganggapnya sebagai hutang.
Sebagian besar puisi lain dalam buku ini memiliki aroma dan nuansa yang hampir sama dengan puisi di atas. Puisi yang dalam pandangan saya agak berbeda dengan kecenderungan puisi-puisi lain dalam buku ini adalah puisi yang berjudul “Bisikan Akhir Tahun” (ditulis oleh Siti Khuzaiyah, Komunitas Rumah Imaji):
BISIKAN AKHIR TAHUN
Tahun lalu seulas senyum terkembang penuh arti
Antara gegap gempita terompet dan kembang api
Dalam hati yang melangit, seorang lelaki berbisik pada istri
“Ma, esok rumah terenovasi dan mobil tua hendak berganti.”
Tahun ini sepotong senyum menyungging penuh misteri
Bumi merapuh, air meredami kaki tanpa kembang api
Dalam jiwa yang membumi, lelaki kembali berbisik pada istri
“Ma, tak perlu tinggi-tinggi. Esok bumi merintih, alam tua hendak terganti.”
Dalam puisi ini, ada sebuah pembacaan kontekstual dengan kondisi negeri ini awal tahun 2008 yang mendapat hadiah tahun baru berupa bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Jakarta, Solo, Jateng, Jatim dan provinsi lainnya. Belum lagi bencana Lumpur panas Sidoarjo yang sejak semburan awal pada Mei 2006, belum juga usai sampai sekarang. Ada harapan menuju sesuatu yang lebih baik yang menyembul lewat pergantian tahun, dalam gegap gempita perayaan tahun baru. Namun di sisi lain ada kerendahhatian untuk menyadari keadaan sesama manusia yang tengah terkena bencana di negeri ini. Puisi di atas tidak lagi berpusat pada aku-lirik, sebagaimana kebanyakan puisi lain dalam buku bunga rampai ini, juga tidak berbicara tentang cinta dan perasaan hati, tetapi lebih berbicara tentang ironi negeri ini lewat bisikan seorang suami pada istrinya di akhir tahun.
Sebagai sebuah buku bunga rampai sastra yang membawa nama daerah tertentu, seharusnya juga membawa budaya dan ciri khas daerah tersebut yang diungkapkan lewat bahasa sastra. Akan tetapi, lewat Cikal, budaya dan ciri khas Pekalongan sama sekali tidak dipertunjukkan lewat entah itu latar cerita atau idiom-idiom dalam cerita atau puisi. Hal ini patut disayangkan. Jangan-jangan generasi muda Pekalongan sudah tidak mengenal budaya dan ciri khas kampung halamannya sendiri, karena sudah sedemikian hebatnya digempur oleh budaya modern dan budaya pop lewat tayangan-tayangan televisi dan media propaganda lainnya?
Secara umum, kehadiran buku Cikal, bunga rampai sastra remaja dan pelajar kabupaten Pekalongan ini layak untuk disambut dengan baik sebagai awal untuk bertumbuhkembahnya penulisan dan geliat sastra di kabupaten Pekalongan. Lewat penerbitan yang didukung oleh Dewan Kesenian Daerah dan Pemerintah Kabupaten ini setidaknya telah memberikan lampu hijau bagi perkembangan sastra di kabupaten Pekalongan, tinggal bagaimana para pegiat sastra di Kabupaten Pekalongan menyikapinya dengan kerja-kerja sastra ke depan. Jangan sampai penerbitan buku ini hanya dijadikan sebuah monumen sejarah sebagai jejak pernah adanya sastra remaja dan pelajar di Kabupaten Pekalongan, yang akhirnya mati sebelum berkembang. Sebagaimana sebuah cikal -tunas kelapa- yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon kelapa yang tinggi menjulang dan bagian-bagiannya bisa bermanfaat bagi banyak orang, semoga buku Cikal ini akan menjadi benih bagi pertumbuhan aktivitas dan kreativitas menulis dan bersastra di Kabupaten Pekalongan. Dan akhirnya, kita ucapkan selamat datang kepada sastra kabupaten Pekalongan, perjalanan menyusuri negeri kata-kata masihlah sangat panjang.
Adi Toha
Pecinta Sastra dan Buku, lahir di Pekalongan
http://jalaindra.wordpress.com
Tentang Penulis :
Adi Toha, lahir di Pekalongan, 22 September 1982. Pernah menempuh pendidikan di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran (2000 - 2004). Menulis novel, cerpen, puisi dan ulasan buku. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di Koran Tempo, Koran Seputar Indonesia (Sindo), Suara Pembaruan Minggu, Pikiran Rakyat, Batam Pos, Kompas, Riau Pos, Majalah Pawon Sastra dan media lainnya. Saat ini tengah bekerja di Jatinangor dan mengelola blog sastra dan buku: http://jalaindra.wordpress.com. Sesekali berkunjung ke beberapa kota untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sastra. Kumpulan cerpennya berjudul Kalarupa dan kumpulan puisinya berjudul Dalam Duri, Dalam Air Mata.
Alamat : Jl. Kedungwuni Timur RT:01 RW:09 No. 02 Kab. Pekalongan,
Jawa Tengah. 51173.
No. telepon : 081320932117 / 022-7790174.
Email : jalaindra@yahoo.com.
Website : http://jalaindra.wordpress.com
No. Rekening : 0893-01-000959-50-9 BRI Cabang Unpad a.n. Adi Toha.
Kamis, Juni 12, 2008
SELAMAT DATANG SASTRA PELAJAR PEKALONGAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar