Rabu, Agustus 06, 2008

ular pohon

teman... ini cerpenku yang dimuat di annida edisi juli 2008 kemarin. cerpen ini saya posting karena katanya ada temen2 yang pingin baca dan ngasih komentar tapi tidak mendapatkan annida yang laris manis kayak kacang goreng.

ditunggu apresiasinya buat perbaikan karyaku selanjutnya ya. salam.


CERPEN TEMA PELESTARIAN POHON

ULAR POHON
Oleh: Aveus Har

Dulu, di antara kami, Raharjo paling pemberani. Sewaktu kanak-kanak dia adalah pelindung kami. Dia pernah menghantam si bengal anak kampung tetangga karena memperolok Latri. Bahkan saat itu dia dikeroyok dua anak. Salah seorang lebih besar tubuhnya dari Raharjo.

Kami juga enggan berangkat mengaji kalau Raharjo tidak berangkat. Karena surau tempat Kyai Mukmin mengajar alif-ba-ta cukup jauh dari rumah kami. Meski sebenarnya bukan karena jauh itu kami enggan. Karena jalan ke sana melewati sisi hutan kecil dengan pohon-pohon lebat di sebelah utara desa. Gelap yang menyelimuti dalam sana tak bisa ditembus oleh obor. Kalaupun kami dipaksa mengaji, kami harus melewati jalan memutar.

Tapi bukan karena gelap itu semata kami takut. Desa kami yang belum berlistrik gelap di sana-sini. Di lain tempat segelap apapun kami tidak pernah takut. Bahkan bermain dalam gelap adalah permainan kesukaan kami. Petak umpet misalnya. Gelap adalah persembunyian paling menguntungkan agar tidak terlihat.

Yang kami takuti dari hutan kecil itu adalah ular pohon yang besar. Konon ada ular sanca atau apa yang menunggui hutan itu. Pangjangnya lebih dari tiang bendera sekolah. Besar tubuhnya sebesar tubuh kami.

Katanya ada beberapa orang yang pernah melihat. Dan cerita dari mulut ke mulut itu menjadi legenda. Dituturkan oleh tiap orang tua. “Jauhi hutan itu,” begitu larangnya. “Kalau tidak kau akan dimangsa.”

Tapi Raharjo tidak takut. Dia pernah memasuki hutan itu dan lama tidak muncul hingga kami kuatir. Meskipun begitu, kami tidak berani memanggil orang-orang tua. Kami takut mereka justru akan memarahi kami karena berani mendekati hutan itu. Kami hanya bisa menangis, menunggu dan berharap Raharjo muncul.

Ketika kami sudah tak tahan menunggu dan memutuskan untuk pergi dari pinggir hutan itu, dengan sepakat untuk tidak bercerita pada siapa pun agar kami tidak dimarahi, Raharjo muncul dengan baju ditenteng. Bajunya menggelembung berisi sesuatu. Tapi bukan ular yang ada di dalamnya meski kami sempat cemas jangan-jangan dia menangkap anak ular besar itu dan membawanya. Bajunya yang menggelembung ternyata berisi jambu ranum matang dari pohonnya.

“Lihat, di dalam sana ada pohon jambu yang lebat sekali. Buahnya banyak,” katanya setelah membuka kantung dari bajunya itu.

“Apa kita boleh memakannya?” tanya Landung, anak tambun yang langsung mengambil empat biji dalam genggamannya sehingga sebiji kemudian terjatuh.

“Tentu saja kita boleh,” jawab Raharjo.

“Tidak dilarang? Jangan-jangan nanti ular pohon penunggu itu marah pada kita.”

Raharjo tertawa. “Tidak ada ular besar di sana. Ini, aku memakannya,” katanya meyakinkan sambil mengunyah sebiji jambu yang kuning ranum. Memakannya dengan mulut berkecap-kecap merangsang liur kami. Lalu dengan lahap kami mengikuti.

Tapi kami tetap sepakat, tak boleh cerita pada siapa pun. “Nanti kita dimarahi.”

Sejak itu, kami sering dipetikkan jambu ranum olehnya. Sejak itu pula, jika berangkat-pulang mengaji kami melewati sisi hutan. Karena Raharjo mengawal sehingga kami tidak takut meski awal-awalnya was-was juga. Karenanya kami masih memiliki sisa waktu untuk bermain sebelum pulang seolah melewati jalan melingkar.

Waktu bergulir membawa perubahan di desa kami. Listrik masuk membuat desa menjadi terang. Main petak umpet tak lagi mudah untuk bersembunyi karena sudut gelap banyak yang hilang. Hanya Raharjo yang tak pernah bisa dicari. Dia suka bersembunyi di dalam hutan itu. Sampai permainan selesai Raharjo tidak ada yang menemukan karena selain dia kami masih juga tak berani. Akhirnya kami membuat kesepakatan, tak seorang pun boleh bersembunyi di sana.

“Itu curang namanya,” protes Raharjo. “Salah sendiri yang jaga tidak berani mencariku ke dalam hutan.”

“Mungkin ularnya takut sama kamu, Jo. Tapi bagaimana kalau dia tidak takut sama kami? Kami bisa dimangsanya.”

Raharjo tertawa. “Sudah kubilang tidak ada.”

Tapi kami tetap dalam pendirian. Hutan itu tak boleh diusik. Penunggunya akan marah kalau berani mengusik ketenangan di sana. Tak seorang pun dari kami, kecuali Raharjo, meragukan cerita tentang ular pohon. Yang kami yakini, ular pohon itu takut pada Raharjo karena kakek buyutnya dulu pemuka desa yang sangat disegani. Kakek buyutnya terkenal sakti. Kakek buyutnya yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai kampung ini. Hutan kecil itu adalah sisa yang sengaja diperuntukkan bagi penunggu hutan besar sebelumnya.

Bahkan ketika waktu bergulir dan desa kami semakin padat, hutan itu tak terjamah. Menjadi kian lebat dengan banyak pohon besar. Hanya pohon-pohon di pinggir yang kadang dipangkas rerantingannya agar tidak mengenai kawat listrik. Jalanan beraspal menuju desa kami dibuat melingkar dan tidak menerobos hutan kecil itu.

Beranjak remaja, kami tak lagi bersama. Beberapa di antara kami menikah setelah lulus SMP. Beberapa melanjutkan sekolah di kota. Aku salah satu diantara yang melanjutkan sekolah. Raharjo tidak. Dia tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan. Tapi tidak juga menikah muda.

Aku larut dalam kesibukan studi dan Raharjo bekerja di pasar. Hanya terkadang kami bisa bertemu. Dan jika obrolan kami menyangkut hutan kecil itu, hanya Raharjo yang percaya tak ada ular pohon besar di sana. Orang-orang lain, bahkan pendatang, meyakini ada penunggu di hutan itu sehingga harus dibiarkan apa adanya.

“Kalau ada ular, pasti ularnya sudah mati,” kata Raharjo.

“Ular tak pernah mati. Bisa mrungsungi,” sahutku.

“Tapi sungguh tak ada ular itu. Nanti aku buktikan kalau tidak percaya!”

Tetap saja tak ada yang percaya. Tapi tak seorang pun menantang Raharjo untuk membuktikan. Kami tahu Raharjo pemberani. Kami tahu dia sering masuk ke dalam hutan. Tapi kami masih meyakini, Raharjo tidak dimangsa karena penunggunya menghormati kakek buyutnya meski sudah berpuluh tahun meninggal dunia.

Kami tidak berharap dia membuktikan. Kami melupakan kata-kata itu dan sibuk berceloteh tentang lain hal. Tentang pekerjaan beberapa teman kami. Tentang anak-istri beberapa teman kami. Tentang gadis-gadis yang menjadi bahan pembicaraan jejaka macam aku dan Raharjo.

Lalu aku menikah dengan seorang gadis teman SMA yang berasal dari kota lain. Kota yang cukup jauh. Dan kami tinggal di kota itu. Menempati rumah yang kami beli dengan kredit. Mengisi hari dengan kesibukan tanpa putus.

Aku jarang mengunjungi desa kelahiran sejak kedua orang tuaku tiada. Bahkan pada saat lebaran kemarin pun aku tidak pulang. Anakku sakit saat libur kerjaku. Dan ketika sembuh aku telah kembali terjebak dalam rutinitas pekerjaan.

Hingga beberapa malam aku bermimpi tentang hutan itu. Bermimpi menjadi anak-anak yang sedang bermain. Sepertinya aku melihat Raharjo dimakan ular pohon besar. Aku berteriak-teriak hingga istriku membangunkan. Keringatku bercucuran dan piyamaku basah.

“Aku mau pulang ke desa,” kataku pada istriku.

“Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu?”

“Tidak apa. Aku bisa cuti barang dua atau tiga hari.”

“Bagaimana sekolah anak-anak kita?”

“Aku pulang sendiri saja.”

Dan pulanglah aku ke desa kelahiran. Desa yang telah berkembang pesat. Desa yang telah padat oleh pemukiman. Tapi aku tidak bertemu Raharjo di sana.

“Raharjo masuk penjara,” kudengar berita itu dari salah seorang teman.

“Kenapa?”

“Dia menebang pohon di hutan itu. Hutan itu milik negara dan Raharjo menebang tanpa ijin,” ceritanya. Meski kemudian dari ceritanya kutahu Raharjo hanya korban. Dia dibujuk untuk mencuri kayu dengan upah sedikit dan keuntungan besar ditangguk cukong yang memiliki beking pejabat.

Setelah Raharjo masuk penjara, hutan itu justru dibabat. Sebuah perusahaan mendapatkan hak untuk membuka hutan itu dan mendirikan pabrik. Mungkin karena Raharjo telah membuktikan tak ada ular pohon besar di sana sehingga ada yang berani membabat pohon-pohon besar itu. Yang jelas, desa ku tak lagi memiliki hutan. Mungkin kelak bahkan tak lagi memiliki pohon.

Kelak aku berharap Raharjo tak pernah masuk ke dalam hutan itu. Kelak aku berharap dia tak pernah membuktikan ketidakbenaran cerita yang dituruntemurunkan. Kelak aku bahkan menduga, kakek buyutnya lah yang mengarang cerita itu agar kami masih memiliki pohon. Karena kelak pohon-pohon besar di tempat-tempat lain pun ditebang dan dijadikan lahan pemukiman. Dan banjir, longsor maupun pemanasan global menjadi lebih mengerikan daripada ular pohon besar.
***
(Untuk Isa yang memberikan ide hebatnya untuk kutulis: terima kasih)

Tidak ada komentar: