"Kegiatan sastra di Pekalongan belum optimal," demikian diungkap Kelik Suwarno, ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Pekalongan dalam kegiatan "Ngobrol Bareng Penulis Pekalongan", Minggu (2/12). Kegiatan bertema "Kreativitas dalam Kepenulisan" diadakan oleh Komunitas Rumah Imaji (KRI) bekerja sama dengan DKD Kabupaten Pekalongan di aula Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan. Dalam kesempatan ini pula Kelik mengatakan DKD siap mensupport kegiatan sastra di daerahnya.
DKD menyambut baik setiap kegiatan berkesenian dari masyarakat. Menurutnya, komunitas penulis yang terbentuk dengan nama Komunitas Rumah Imaji ini patut dilanjutkan dan diberdayakan agar maksimal. Untuk itu DKD siap menyediakan ruang untuk kegiatan sastra di gedung kesenian yang sedang dalam pembangunan.
Kegiatan Ngobrol Bareng Penulis Pekalongan ini diikuti oleh 26 peserta. Selain mengundang sejumlah penulis Pekalongan yang telah lama berkecimpung di dunia penulisan kreatif, acara ini juga dihadiri oleh tujuh orang dari DKD Kabupaten Pekalongan.
"Target kami hanya 20 peserta," demikian ungkap Aveus Har, koordinator kegiatan tersebut. Menurutnya, dengan peserta yang sedikit diharapkan hasil kegiatan tersebut lebih optimal. "Tapi kami susah buat menolak peserta yang mendaftar belakangan."
Aveus Har menyatakan komunitas yang dikoordinirnya siap mengadakan kegiatan lanjutan yang lebih besar. Menurutnya, beberapa proposal kegiatan telah siap diajukan. Kegiatan tersebut meliputi penerbitan, pelatihan dan lomba penulisan kreatif yang terangkum dalam tema "Pekalongan Menulis".
DKD Kabupaten Pekalongan siap membantu. Kelik meyatakan DKD memiliki dana yang siap dikucurkan untuk meningkatkan kegiatan berkesenian di Kabupaten Pekalongan.
Berlangsung hangat
Acara yang dimulai jam 09.30 WIB berlangsung hangat. Beberapa pertanyaan seputar penulisan kreatif diajukan oleh peserta dan dibahas bersama beberapa penulis dan anggota DKD.
"Agar kreatif, kita harus banyak membaca," demikian menurut Nr. Ina Huda, salah seorang penulis Pekalongan yang hadir dalam acara tersebut. Lebih lanjut dia menyatakan, mimpi pun bisa menjadi sumber ide.
Acara ini memang dimaksudkan sebagai ajang berbagi rasa dan tukar pengalaman dengan para penulis. "Mungkin saja kita bisa mendapatkan berbagai alternatif solusi mengatasi kebuntuan kreativitas yang sering dialami penulis," ungkap Aveus Har.
(dikirim ke nirmala post, gak tahu dimuat kagak)
Minggu, Desember 09, 2007
Belum Optimal, Kegiatan Sastra di Pekalongan
DKD SIAP SUPPORT SASTRA
DKD SIAP SUPPORT SASTRA
"Komunitas ini silahkan dilanjutkan dan diberdayakan," demikian Kelik Suwarno mengatakan dalam pengantar perbincangan di acara "Ngobrol Bareng Penulis Pekalongan" bertema kreativitas dalam kepenulisan di aula Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan, Minggu (2/12). Kegiatan ini diadakan oleh Komunitas Rumah Imaji bekerja sama dengan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Pekalongan.
Kegiatan ini diikuti oleh 26 peserta. Selain enam penulis Pekalongan yang telah memunculkan karya di media massa, kegiatan ini dihadiri oleh tujuh orang anggota DKD. "Target kami hanya 20 peserta agar perbincangan lebih efektif. Tapi kami susah buat menolak peserta yang mendaftar belakangan," demikian ungkap Aveus Har, koordinator kegiatan tersebut.
Dalam kesempatan ini pula Kelik menyatakan DKD Kabupaten Pekalongan siap untuk mensupport kegiatan sastra di daerah.
Menurut Ketua DKD Kabupaten Pekalongan ini, selama ini kegiatan sastra di daerah Pekalongan memang belum optimal. Untuk itu DKD menyambut baik setiap kegiatan berkesenian yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk mewadahi kreativitas tersebut DKD siap menyediakan ruang untuk kegiatan sastra di gedung kesenian yang sedang dibangun.
"Kami siap membantu," tegasnya. DKD, menurut Kelik, masih memiliki dana yang siap untuk dikucurkan dalam kegiatan berkesenian.
Sementara itu Aveus Har, menyambut baik dan siap untuk bekerja sama dalam rangka meningkatkan potensi daerah dalam penulisan kreatif. Kegiatan-kegiatan yang telah disusun oleh Komunitas Rumah Imaji segera akan diajukan ke DKD untuk mendapat masukan. Kegiatan tersebut meliputi penerbitan, pelatihan dan lomba penulisan kreatif yang terangkum dalam tema "Pekalongan Menulis".
"Proposal telah siap," demikian Aveus Har menyatakan. "Kami berharap kegiatan-kegiatan ini kelak bisa bermanfaat untuk menggairahkan minat penulisan kreatif di daerah. "Dan bisa bersaing di tingkat nasional."
(Dikirim utk Suara merdeka, nggak tahu dimuat kagak....)
Sabtu, Desember 01, 2007
Aveus: Duit satu juta lebih dari mana?
Aveus: Duit satu juta lebih dari mana?
(Kisah mumet bikin kegiatan)
Ini cerita ketika Komunitas Rumah Imaji (KRI) ngadain kegiatan “Ngobrol Bareng Penulis Pekalongan”, 2 Desember 2007. Kegiatan yang awalnya hanya iseng-iseng karena kangen untuk kumpul-kumpul, ternyata membesar dan menjadi serius (meskipun untuk acara tetap dibikin santai dan akrab). Serius di sini artinya banyak hal yang membesar. Dari jumlah peserta, tenaga yang dibutuhkan, tamu yang diundang dan tentu saja … dana yang membengkak.
Masalahnya, saat menyusun proposal kami hanya mengeset untuk 20 peserta, 6 penulis, 4 panitia, dan 2 tamu undangan. Namun ketika peserta membengkak menjadi 26 peserta (dari undangan yang sudah diambil, namun ada juga kemungkinan yang akan mendaftar pada saat kegiatan berlangsung, dan kemungkinan kami tidak mampu untuk menolaknya). Perlu 3 orang tenaga bantuan pengesetan tempat. 7 orang panitia (meski yang mobile hanya beberapa saja). Dan 7 orang dari Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kab. Pekalongan.
Ditambah pula, diluar rencana kami yang sudah termaktub dalam brosur—ini kami berikan untuk kejutan peserta—kami mengundang penulis Pekalongan yang sekarang bekerja di TPI (teve, bukan tempat pelelangan ikan) untuk memberikan ceramah motivasi. Bayangkan berapa dana yang kami butuhkan!
Awalnya, anggaran yang kami susun seperti ini:
Rencana Anggaran
Pemasukan:
Iuran @ Rp. 10.000 x 20 : Rp. 200.000,00
Kas Rumah Imaji : Rp. 50.000,00
Jumlah Rp. 250.000,00
Pengeluaran:
Konsumsi:
Snack & Coffee break : Rp. 75.000,00
Makan Siang : Rp. 300.000,00
Dokumentasi : Rp. 100.000,00
Spanduk dan Selebaran : Rp. 100.000,00
Lain-Lain : Rp. 100.000,00
Jumlah Rp. 675.000,00
Kekurangan Dana Rp. 425.000,00
Dan DKD Kab. Pekalongan mengucurkan dana sebesar Rp. 425.000,-, artinya, seharusnya tidak ada masalah. Apalagi kas KRI (yang memang dari duit pribadi gw-ave), diperbesar sejumlah Rp. 150.000,-Tapi ternyata tidak. Karena:
1. Pengeluaran administratif untuk surat menyurat, selebaran dan sosialisasi Rp. 150.000,-
2. Konsumsi (snack, makan siang, kopi) untuk 55 porsi Rp. 797.500,-
3. Administrasi pemakaian tempat dan pengesetan (trmsk backdrop) Rp. 175.000,-
4. Dokumentasi (yang ini tidak membengkak) Rp. 100.000,-
Semua pengeluaran sejumlah Rp. 1.222.500
Sudah? Ternyata belum. Kami lupa tidak menganggarkan untuk memberi ‘amplop’ buat penulis yang jadi pembicara. Bukan lupa, deng. Kupikir, toh mereka udah temen sendiri. Bisa kan gak usah ngasih duit? Tapi kata temanku: ‘wah, itu bisa menjadi preseden buruk. Artinya, ntar para penulis gak akan dikasih uang saku kalau diundang bicara dalam suatu acara’. Nah lo!
Artinya, kami musti menambah pengeluaran”
5. ‘Amplop’ untuk pembicara 5 orang (Ave tidak termasuk, karena panitia) Rp. 500.000,-
6. ‘Amplop’ untuk pembicara dari TPI Jakarta Rp. 400.000,-
Total Pengeluaran Sejumlah Rp. 2122.500,-
Dengan dana yang terkumpul:
1. Kas KRI Rp. 150.000,-
2. Penjualan undangan Rp. 250.000,-
3. Bantuan DKD Kab. Pekalongan Rp. 425.000,-
Hanya terkumpul sejumlah Rp. 825.000,-
Total Kekurangan Adalah Rp. 1.297.500,-
Pertanyaannya: dari mana mendapatkan uang sejumlah itu?
Rabu, November 14, 2007
ngobrol bareng penulis pekalongan
Dunia penulis adalah dunia yang sepi.
Buat yang punya minat nulis, terkadang susah menemukan teman untuk berbagi, untuk curhat, untuk diskusi dan mendorong semangat berkreasi.
Ayo bergabung bersama kami dalam :
NGOBROL BARENG PENULIS PEKALONGAN
TEMA: KREATIVITAS DALAM KEPENULISAN
"Bagaimana berpikir dan berjiwa kreatif"
Kamu bisa berbagi rasa di sini,
bertukar pikiran,
curhat,
diskusi,
dalam suasana pertemanan sembari menikmati kesejukan Doro.
Penulis yang akan hadir:
Nr. Ina Huda,
Penulis di berbagai media massa dan penulis buku "Melukis Kasih" dan beberapa buku lain.
Khairul Huda,
Penulis di berbagai media massa dan penulis buku "Prahara di Tlogo Pakis" dan beberapa buku lain.
Purwandi T. Darsiyan,
Penulis di berbagai media massa dan penulis buku "Kertas Gulung Ajaib" dan beberapa buku lain.
Ghufron Muda,
Sastrawan di berbagai media dan Ketua Komisi Sastra Dewan Kesenian Kota Pekalongan (DKKP)
N. Dien,
Penulis di berbagai media massa dan penulis buku "Sang Kurir" dan beberapa buku lain.
Aveus Har
Penulis di berbagai media massa dan penulis buku "Warna Merah pada Hati" dan beberapa buku lain.
HARI/TANGGAL : MINGGU, 2 DESEMBER 2007
TEMPAT : AULA KECAMATAN DORO
JAM : 09.00 WIB
KONSUMSI : Rp. 10.000,- (Makan siang, snack, coffee break)
TERBUKA UNTUK UMUM
BURUAN dapatkan undangannya, karena PESERTA TERBATAS
Undangan dapat diperoleh di:
Perpustakaan Umum Kota Pekalongan (Mas Yono)
Warung Mie Ayam Mas Harso Trotoar Puskesmas Wiradesa (Harso)
Warnet A_Z Net, Jl. Mundurejo Depan SMA N 1 Kajen (Kharisma Tiarawati)
Sanggar Pramuka Karanganyar (Muntoha)
Surya Komputer, Jl. Raya Pekajangan 285 (Yuyun)
Khairul Huda, Perum Dororejo Blok D1 No. 19 (Blk mushola) atau SMP 1 Doro
Organized by: Komunitas Rumah Imaji
Informasi : 08156938142 (Ave)
rumah kami rumah imaji
Rumah kami, rumah imaji
Awalnya, komunitas rumah imaji hanyalah komunitas imajinatif dimana aku berguru pada karya-karya penulis yang kutemui lewat buku, majalah atau internet. Komunitas ini tanpa anggota lain selain aku. Meskipun di Pekalongan ini aku akhirnya bisa bertemu dengan penulis-penulis senior dimana aku sering curhat dan minta bimbingan (Khairul Huda, Ina Huda, Purwandi, Ghufron Muda), aku tak berani mengajak mereka membentuk sebuah komunitas. Baru pada beberapa minggu lalu ketika dalam sebuah pembicaraan tercetus keinginan dari Khairul Huda untuk berkumpul dan berbincang dalam sebuah forum setelah lama kami tidak pernah berkumpul bersama.
Dulu, ketika Mas Najmudin mengajakku bergabung di FLP Pekalongan, aku pun mengajak mereka. Mereka menjadi penulis senior di forum. Dan kini telah setahun berlalu FLP Pekalongan tak pernah mengundang kami berkumpul seperti dulu ketika Mas Najmudin menjadi ketuanya. Yang kemudian dilanjutkan Mas Eko Pribadiyanto. Dan sekarang, setahun lebih kalau tak salah ingat, ketua dijabat oleh Mbak Yossi.
Aku mengenal Mas Najmudin sebagai aktivis IPNU (sekarang Ansor). Meski dia belum pernah masuk dalam cabang flp manapun sebelumnya, pengetahuan agamanya layak untuk membawa gerbong komunitas penulis islami. Dan Mas Eko aktivis IRM. Sama seperti Mas Najmudin, sebelumnya dia juga tidak tahu bagaimana membawa gerbong organisasi penulis islami ini. Mungkin cara-cara mereka memimpin flp pekalongan berbeda dengan flp di tempat lain. Tapi sebagai pribadi, aku menikmati kebersamaan dalam forum ini.
Setelah Mas Eko, ketua dijabat Mbak Yossi dalam pemilihan yang demokratis. Mbak Yossi sangat layak karena disamping dia sebagai aktivis liqo’ tarbiyah, mbak Yossi pun pernah menjadi anggota FLP Semarang semasa kuliah. Dia lebih mengerti bagaimana seharusnya forum ini berjalan. Bahkan bersama Mas Najmudin dan Mas Eko, Mbak Yossi adalah penggagas berdirinya FLP Pekalongan.
Aku tak tahu kenapa justru kami tak lagi berkumpul seperti dulu. Bahkan para penulis senior pun tak pernah lagi mereka undang untuk berbincang. Dan kami tak tahu kenapa.
Beberapa minggu lalu aku dan Purwandi menyambangi kediaman Khairul Huda dan kami menggagas sebuah acara ngobrol bareng penulis pekalongan. Ini, disamping karena kangennya kami berkumpul bersama, juga karena kami ingin mempunyai teman-teman baru dalam dunia imajinasi. Dan kami sepakat menggunakan nama komunitas rumah imaji sebagai nama komunitas kami meski tanpa struktur organisasi.
Ya. Nama komunitas semuku menjadi nama rumah kami. Tentu saja, kami masih menjadi anggota flp pekalongan. Kami masih memiliki kartu tanda anggota. Dan, meski tidak pernah berkumpul lagi dalam forum, kami masih merasa sebagai bagian darinya.
Mungkin kelak komunitas rumah imaji akan kembali menjadi nama komunitas semu yang hanya engkau temui di dunia maya ini, dan itu tidak mengapa. Mungkin kelak Mbak Yossi tahu kami masih menjadi bagian dari flp pekalongan yang diketuainya. Mungkin kelak Mbak Yossi merengkuh kami lagi dan mengajak kami kembali berkumpul dalam naungan nama FLP Pekalongan.
Bravo FLP Pekalongan. Kami semua merindukanmu.
Kamis, Oktober 18, 2007
horee... gue juara ke....
Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional
Esai Kepemimpinan Pemuda
"Pernah Ada Indonesia…."
Kelak, pada tahun entah, ada pencerita yang mengawali tutur dengan: "Dulu, pernah ada sebuah negara bernama Indonesia…."
Inilah mimpi paling buruk dalam sejarah. Ketika nafsu dan keserakahan telah mengikis nurani. Dan kotak-kotak tercipta atas nama beda. Dan manusia kembali ke etos dasarnya sebagai penakluk; siapa kuat dia berkuasa.
"Apa yang sesungguhnya terjadi?" tanya seorang pendengar.
Sang pencerita menghela napas berat. "Semua karena mimpi," katanya. "Karena mimpi," dia mengulang dengan penegasan. Sebelum meluncur cerita panjang sebuah sejarah.
Indonesia bermimpi, (maka) Indonesia ada
Impian mampu mengubah dari tak ada menjadi ada. Kedahsyatan mimpi telah teruji ketika 28 Oktober 1928, barisan pemuda dari berbagai ‘kotak’ yang beda melebur dalam satu tekad bersama yang terangkum dalam tiga butir sumpah. Merangkum bersama dalam satu bangsa, satu tanah air satu bahasa.
Ketiga butir sumpah itu adalah kristal semangat nasionalisme. Semangat yang menerobos sekat dan beda untuk mempersamakan sikap maupun tingkah laku individu dan/atau masyarakat merujuk pada satu loyalitas: Indonesia.
Mimpi mereka bukan sekedar angan-angan. Mimpi mereka adalah motor yang menggerakkan. Dalam semangat mimpi ini, lagu-lagu sarat muatan nasionalisme tercipta. Indonesia Raya, Padamu Negeri, Dari Sabang sampai Merauke dan lain-lain menjadi lagu tema pergerakan kepemimpinan pemuda.
Tak ada mimpi yang menyata dalam seketika. Bertahun-tahun mimpi itu bergulir dan membesar selaksa bola salju. Hingga menemu waktu pada 17 Agustus 1945. Tujuh belas tahun sejak penyatuan mimpi dalam sumpah pemuda, Soekarno-Hatta di desak untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Tak diragukan lagi, Indonesia yang awalnya terpecah belah dalam gerakan kedaerahan, terangkum satu dalam mimpi sumpah pemuda. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil kristalisasi semangat bersama.
Setelah kemerdekaan, impian selanjutnya adalah mengisi kemerdekaan tersebut. Hal utama adalah menyusun pondasi arah tujuan bangsa. Untuk inilah ditetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Lima sila yang tidak diciptakan namun digali dari bumi Indonesia.
Inilah mimpi Indonesia setelah sumpah pemuda. Mimpi yang masih mengusung semangat kebersamaan dalam keberbedaan. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu.
Indonesia berketuhanan yang maha esa. Indonesia berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Indonesia bersatu. Indonesia menjunjung tinggi mufakat dalam musyawarah. Indonesia yang adil.
Pancasila adalah lem yang merekatkan semua mimpi rakyat.
Namun, sebuah mimpi pun bisa berbeda dalam penafsiran. Perbedaan penafsiran ini akhirnya memunculkan friksi antara barisan pemuda yang memegang idealisme dan pemimpin negara yang mereka anggap otoriter dan keras kepala memegang cara dan cita-citanya.
Friksi ini terus berlanjut hingga pada tahun 1966. Setelah tragedi pemberontakan PKI pada 30 September 1965, para pemuda bersatu padu dengan semua elemen mahasiswa, organisasi pemuda dan kemasyarakatan, menumbangkan kekuasaan orde lama, dengan satu mimpi: menciptakan perubahan ke arah idealisme yang menurut mereka telah dibelokkan Soekarno.
Peristiwa ini menjadi awal terbentuknya orde baru. Sebuah orde yang diyakini akan mampu mengembalikan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam era orde baru, Pancasila disakralkan. Diwajibkan untuk dihapal pelajar. Ditatarkan secara teori. Diujikan dan dinilai sebagai bentuk pelajaran setara dengan pelajaran hapalan lain. Padahal sebagai sebuah filosofi, Pancasila seharusnya menjadi pegangan perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Penyimpangan Pancasila justru terjadi di semua tingkat. Kepemimpinan pemuda kembali menggugat. Reformasi dipekikan. Dan orde baru dibawah kendali Jendral (purnawirawan) Soeharto tumbang.
Ironisnya, penumbangan orde baru tidak diikuti konsep jelas ke arah mana perjuangan pemuda. Kepemimpinan pemuda pada tahun 1945 mengusung arah kemerdekaan. Pergerakan 1966 untuk mengembalikan laju negara pada Pancasila. Dan Pergerakan reformasi 1998 terasa hanya penurunan tahta dan pergantian rezim. Reformasi dimaknai sebagai ‘bongkar’ dan ‘susun ulang’ pemegang tampuk kekuasaan, bukan kepemimpinan.
Memimpikan kembali Indonesia
Jika sebuah mimpi sudah tidak lagi relevan, mengganti impian adalah sebuah keniscayaan, bahkan keharusan. Namun tengoklah kini mimpi-mimpi Indonesia.
Mimpi yang kita miliki sejak awal pendirian negara telah termaktub dengan lengkap. Diawali dengan proklamasi kemerdekaan dimana dicetuskan bahwa kemerdekaan ialah hak. Dan penjajahan—apapun bentuknya—harus dihapuskan. Baik penjajahan fisik maupun psikologis.
Pemuda sebagai pilar utama bangsa justru terlupa akan mimpi itu dan mencari mimpi lain dari budaya asing. Mimpi yang justru bertolak belakang dengan khasanah yang kita miliki. Pemuda terasyik-masyuk dengan hedonisme.
Bahkan sumpah pemuda tak lagi menjadi perekat. Organisasi kepemudaan dan masyarakat maupun partai politik mengusung mimpi-mimpi individu dan golongannya untuk sebuah kekuasaan bahkan saling mengintimidasi golongan dan kelompok lain.
Kita kembali tercerai berai. Kepemimpinan pemuda hanya menjadi pendobrak tanpa berpegang pada gambaran kuat akan arah masa depan negara. Padahal gambaran arah itu telah termaktub dalam pancasila. Dalam kelima sila yang mengakomodasi seluruh harapan anak bangsa.
Adakah yang lebih hebat dari mimpi dalam lima sila itu? Adakah mimpi lain yang bisa merangkum berbagai beda suku, ras, agama, budaya yang berlainan yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia?
Tanpa perekat, tanpa pemersatu, tanpa arah negara yang mewadahi semua beda, maka timbul lah perpecahan. Bukan mustahil jika kemudian terbentuk Negara Daerah, Negara Suku, Negara Golongan, Negara Agama dan hilanglah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya tersisa sebuah dongeng ‘pernah ada Indonesia’.
Pancasila kini pun hanya menjadi hapalan anak sekolah. Pancasila tidak kita implementasikan dalam kehidupan. Kita lebih berpihak pada kepentingan golongan, organisasi, partai, agama dan mengabaikan kepentingan bersama. Bahkan pendidikan butir-butir pengamalan dan penghayatan pancasila pun kita abaikan hanya karena penyimpangan yang pernah dilakukan sebuah rezim. Bukan karena tidak relevan lagi butir-butir tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Tugas kepemimpinan pemuda saat ini adalah mengembalikan arah pada mimpi pendirian negara. Menelaah perjalanan panjang Pancasila dari 1 Juni 1945 hingga sekarang. Bercermin dari sejarah agar penyelewengan yang pernah dilakukan sebuah rezim tak lagi terulang.
Menanamkan nilai-nilai Pancasila adalah sebuah keharusan. Penanaman yang hanya terbatas pada teori hanya akan tumbuh menjadi tanaman semu yang tidak berakar. Kepemimpinan pemuda harus bisa menjadikan Pancasila sebagai perilaku berbangsa dan bernegara. Bukan sebagai omong kosong tanpa makna.
Perjuangan idiologi saat ini tak lagi seperti ketika berhadapan dengan imperialisme di tahun 1945. Bukan pula berhadapan dengan kapitalisme dan totalitarianisme. Perjuangan idiologi saat ini adalah perjuangan merevitalisasikan kembali sebuah nilai yang telah tercemari perilaku rezim.
Mewujudkan impian memang membutuhkan waktu. Namun mimpi hanya akan menjadi angan-angan kosong tanpa tindakan. Tak akan ada ‘simsalabim abrakadabra’.
Pertanyaan untuk kita renungkan adalah, adakah sosok pemimpin yang masih berpegang teguh pada mimpi Indonesia? Karena pada hakekatnya setiap individu adalah pemimpin, setidaknya bagi dirinya, maka setiap individu pun harus kembali pada pengamalan butir-butir pancasila dalam kehidupannya. Dan jika setiap pemuda telah menanamkan pancasila, kepemimpinan pemuda ke depan akan memiliki satu irama yang sama. Keberagaman tak akan lagi menjadi bencana. Kotak-kotak atas nama suku, ras dan agama akan menjadi kebhinekaan tunggal ika.
Epilog
Aku bersyukur mimpi buruk dalam awal tulisan ini hanya akan terjadi kelak bilamana. Aku bersyukur masih ada waktu untuk merubah mimpi buruk sejarah. Aku bersyukur masih bisa berkata untuk kembali pada mimpi kita. Mimpi kita yang satu: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
***
Daftar bacaan:
Wawan Tunggul Alam, SH., Bung Karno Menggali Pancasila, Gramedia Jakarta 2001.
A. Fanar Syukri, Peran Pemuda dalam 20 Tahunan Siklus Nasionalisme Indonesia (Refleksi 75 tahun Soempah Pemoeda, 1928-2003), http://ppi-jepang.org.
Zacky Khairul Umam, Transformasi Kepemimpinan (Pemuda) Indonesia, http://suarakarya-online.com.
Saleh Awal, Krisis Pemimpin dan Kepemimpinan Pemuda, http://www.salehawal.blogspot.com.
A Khoirul Anam, Kembali kepada Pancasila, http://sinarharapan.co.id.
Siswono Yudo Husodo, Pancasila dan Keberlanjutan NKRI, http://kompas.com
Ir. H. M.Q. Iswara, Nasionalisme Indonesia Dalam "Ancaman"?, http://duniaesai.com.
Tjahjopurnomo S.J., Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda: beberapa catatan tentang persatuan, http://digilib.pnri.go.id.
Berikut Ini Nama-Nama Pemenang Lomba Esai Kepemimpinan
(Dan gue--Alhamdulillah... juara ke... he he he nggak ada. ke dua dari belakang kali ye....)
Pemuda dan Penghargaan Penulis Kepemudaan Kementerian Pemuda dan Olahraga
bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena 2007
Kategori Pelajar
Juara I :
Syam Al Wahed, Madura
Juara II : Ahmad Fachrurrozi, Magelang, Jawa
Tengah
Juara III : Adrianus Sinthesa, Muntilan, Jawa
Tengah
Juara Harapan I :
Ahmad Fajrul Falah, Yogyakarta
Juara Harapan II :
Akhir Sya'bani, Purbalingga
Juara Harapan III :
Mustamid, Yogyakarta
Kategori Mahasiswa
Juara I : Veri Nurhansyah
Tragistina, Depok
Juara II : Ria Casmi Arrsa, Malang
Juara III : Heri Mulyanti, Yogyakarta
Juara Harapan I :
Tohirin, Jakarta
Juara Harapan II :
Randi Muchariman, Tasikmalaya
Juara Harapan III :
Edy Saputra Simamora, Medam, Sumut
Kategori Umum
Juara I : Nurani
Soyomukti, Jakarta
Juara II : Mubarok, Semarang
Juara III : Sudaryanto, S.Pd, Yogyakarta
Juara Harapan I :Yadi
Setiadi, Bandung
Juara Harapan II :
Fathurrofiq, Surabaya
Juara Harapan III :
Robertus Bellarminus E.A.N, S.S, Jakarta
Kategori Penghargaan
Penulis
Juara I : Ubaidillah Nugraha, Jakarta
Juara II : Redite Kurniawan, Timika-Papua
Juara III : Syarif Hidayat Santoso, Sumenep
Juara Harapan I :Muhtadi,
Tanggerang
Juara Harapan II :Hery
Susanto, S.Pi, M.Si, Jakarta
Juara Harapan III :Dahlia,
Palembang
Tim Juri
1. Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Harian Republika
2. DR. M. Budi
Setiawan, M.Eng, Deputi Bidang Pengembangan Kepemimpinan Pemuda
3. M. Irfan
Hidayatullah, SS, Mhum, Dosen Universitas Padjadjaran Bandung & Ketua Umum
FLP
Catatan:
Keputusan Juri
tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat
Setiap pemenang
akan dihubungi panitia untuk penyerahan hadiah
Sabtu, September 08, 2007
berharap juara ke dua
Berharap Juara Ke Dua
Alhamdulillah akhirnya selesai juga esai kepemimpinan pemuda untuk kusertakan dalam lomba. Dimulai dari kabar yang kudapat dari Depo, aku sudah mencari gagasan yang ingin aku tulis. Setelah menemukan gagasan isi, aku berjuang menemukan gagasan bentuk.
Menulis esai ternyata lebih susah dari nulis cerpen. Aku harus mencari artikel atau buku untuk menambah pengetahuanku sebelum menuangkan gagasan. Syukurlah aku banyak dibantu oleh google.co.id hingga menemukan banyak artikel yang memperkaya, meski tak semua artikel itu berkenaan langsung dengan tulisanku.
Sebelumnya, aku berdiskusi dengan Mas Den, mantan ketua FLP Pekalongan. Beliau banyak memberiku masukan. Meskipun satu masukannya tidak aku terapkan, yakni: memasukkan agama (Islam) sebagai warna tulisanku. Dalam arti, karena menurut beliau lomba ini diadakan FLP yang notabene islami, maka aku sebaiknya mengusung tema ‘kepemimpinan islami’, yang menurutku akan berbeda makna menjadi ‘esai kepemimpinan pemuda islami’.
Tapi kupikir, karena lomba ini terbuka untuk WNI tanpa embel-embel agama, maka aku merasa tidak masalah jika yang kuangkat adalah kepemimpinan pemuda Indonesia secara universal. Dan itulah yang kulakukan.
Kalaupun kelak memang yang dimaui penyelenggara seperti gambaran Mas Den, biar saja. Pada prinsipnya, aku hanya ingin ikut bicara tentang apa yang kuyakini dan dengan cara bicaraku.
Jadi, dengan segenap kebanggaan akan keberhasilan menuangkan gagasan dalam tulisan, kupersembahkan karya itu untuk dinilai para juri yang terhormat. Dengan disertai doa, semoga bisa menjadi juara ke dua.
Juara ke dua? Kenapa tidak berdoa semoga menjadi juara pertama, sih?
Bukan karena pesimis, kok. Aku hanya merasa, terlalu ribet kalau juara pertama. Bayangkan jika aku diminta ke Jakarta seorang diri, bisa-bisa aku hilang di rimba beton sana. Aku selalu bingung dan panik berada di tempat asing apalagi rame, dan daya ingatanku lemah untuk orientasi ruang.
Aku takut. Sungguh. Silahkan saja kalau mau tertawa ngakak.
Minggu, Agustus 26, 2007
Di mana kesalahanku?
Di mana kesalahanku?
1. Aku tak pernah membaca.
Sungguh, ini ironis. Sebagai seorang penulis di mana kerjaku adalah menuangkan adonan-adonan dalam kepala, aku justru tak pernah menyerap bahan-bahan dalam kepalaku ‘dengan benar’. Iya, tiap hari aku membaca. Buku, koran, majalah, web… selalu saja ada yang aku baca.
Tapi sesungguhnya, aku tidak benar-benar membaca!
Lalu apa yang sebenarnya aku lakukan selama ini dengan buku, koran, majalah, web… tersebut?
Aku hanya mencari tahu.
Ketika membaca novel atau cerpen, aku hanya mencari tahu tokohnya nanti akan gimana? Endingnya akan gimana?
Ketika membaca buku, aku mencari tahu, ini mau ngomong apa sebetulnya?
Ketika membaca koran aku mencari tahu, ada apa sih?
Tapi aku tidak benar-benar membaca. Karena membaca dan mencari tahu itu rasanya berbeda. Membaca, segenap tulisan aku raih, aku cerna, aku rasakan, aku nikmati. Seperti halnya menikmati sup dan bukan mencari rasa asamnya.
Mulai sekarang, ketika membaca, aku akan berlatih menjadikan diriku bejana kosong sehingga tak perlu mencari sesuatu. Cukuplah dengan menikmati, dan membiarkan semuanya mengalir… masuk, terserap, mengkayakan diriku.
Mungkin tak mudah mengubah kebiasaan, tapi lebih susah lagi jika tidak punya tekat.
2. Aku tergesa-gesa
Entah ini karakter atau apa, aku selalu tergesa-gesa dalam banyak hal. Dan ini menjadi hal buruk dalam karier menulisku. Bayangkan, setelah diatas tadi aku berbicara tentang membaca—yang berkaitan juga dengan hal ini; tergesa-gesa mencari tahu—rupanya ketergesaan telah meracuni kegiatan menulisku. Aku tergoda untuk sesegera mungkin mengungkapkan apa yang ingin aku katakan. Akibatnya, seperti kata beberapa teman, seringkali klimaks ku kurang greget.
Dan memang, ketergesaan adalah musuh. Kenapa aku tidak menikmati setiap petualangan dalam pendakian puncak?
(Temanku menyeletuk: itu karena kamu belum menikah. Nggak tahu deh korelasinya apa…)
Aku memang selalu tergesa-gesa. Bahkan ketika sholat pun, otakku telah berjalan jauh meninggalkan tubuhku yang bergerak mekanis seperti robot. Tanpa jiwa. Tanpa ekstase.
Mungkin terlambat. Tapi lebih baik menyadarinya sekarang.
Tuhan, bahkan ketika menulis ini pun aku tergesa-gesa.
Dan aku belajar mulai sekarang.
Menyetel lagu lembut.
Menarik napas panjang dan teratur.
Meritmiskan gerak dalam alunan.
Tidak bergegas-gegas.
Menikmati pendakian.
Mungkin tidak langsung sempurna.
Tapi tak ada salahnya berusaha.
Aku harus berlambat-lambat dahulu bersenang-senang kemudian.
Tapi tidak untuk satu hal ini…
Dimana aku sudah tidak tahan…
Dimana aku harus bergegas-gegas…
Dimana aku tak perduli sedang berlatih lambat…
Karena ini begitu mendesak, oleh waktu, oleh tekanan, oleh dorongan dari dalam, oleh… ah, aku kebelet pipiiiisssss….
Kamis, Agustus 16, 2007
Workshop ala Ave
WORKSHOP CERPEN ALA AVE
Bukannya mau sombong atau merasa sudah sedemikian hebatnya kalau ave punya keinginan untuk mengadakan workshop penulisan cerpen. Ini semata karena ave merasa, ilmu yang selama ini ave dapat dari banyak guru pun musti dibagi-bagi. Toh yang namanya ilmu, dibagi tak akan berkurang, bahkan pasti bertambah. Tentu saja karena dalam setiap interaksi dengan penulis, baik pemula maupun bangkotan, bagi ave sama saja dengan berguru. Ketika menemukan kelemahan tulisan seorang pemula, ave merasa mendapat peringatan untuk tidak melakukan kesalahan serupa. Bukankah itu juga suatu ilmu?
Lagi pula, merujuk saran dari Primadonna Angela (Penulis novel Teenlit dan Metropop) http://vervain.blogspot.com, ave sekalian nyari sahabat yang sehobi dalam dunia imaji ini. Dengan mengadakan workshop, peluang utk itu makin terbuka kan?
Mulailah ave mempersiapkan materi workshop yang merangkum 80% praktek dan 20% teori. Jadi lebih diutamakan prakteknya yang kemudian menjadi bahan diskusi. Ini, meski lumayan bikin pusing, akhirnya jadi juga. Terbagi dalam enam kali pertemuan dan tiap pertemuan berkisar dua sampai tiga jam.
Yang tak mudah ternyata mencari pesertanya. Karena ave sendirian, ave pingin workshop ini diintegrasikan dalam suatu komunitas. Jadi segala macam persiapan tempat, konsumsi dan macam-macamnya nanti disiapkan bersama.
Pertama, ave nyoba buat FLP Pekalongan. Kan ave tercatat sebagai anggota, setidaknya masih memiliki KTA. Ave sms ke pengurusnya, nanya kapan pertemuan karena selama ini tak ada undangan pertemuan (beda ketika ketuanya Mas Den dan kemudian Mas Eko dimana pertemuannya rutin dan terjadwal). Sayangnya mereka nggak merespon, entah kenapa.
Lalu, lewat Mas Eko yang aktivis IRM, ave minta dihubungkan ke teman-teman IRM Pekalongan yang hobi nulis. Nanya-nanya bagian yang mengurusi kegiatan ini. Tapi entah kenapa juga, ave nggak dapat akses. Beberapa teman IRM yg sudah ave kenal (Mbak inayah, Mas Nasyid) juga nggak menunjukkan respon.
Lalu, lewat Mas Den yang mantan aktivis IPNU, ave juga minta akses. Dapat akses ke departemen infokom yang membawahi tabloid internal. Setelah berkenalan dengan mereka dan mencoba memaparkan ke pengurusnya (Mas Herwanto dan Mas Teguh), ternyata mereka pun nggak merespon. Entah kenapa….
Sampai di sini ave jadi senewen. Siaul banget! Ternyata mau berbagi ilmu pun nggak mudah ya. Dan dalam kesenewenan ini, seorang sahabat yang jauhhhh dari dunia tulis menulis alias sama sekali nggak minat, ngasih masukan:
"Ngapain sih repot-repot. Kalau ada ember butuh air, biar aja mereka yang nyari sumur. Jangan sumur yang repot-repot mencari ember buat dikasih air."
Yah, lumayan ngobati senewen. Meski ave nggak layak disebut sumur, Cuma kolam penampung aja mungkin. Karena yang ave dapat juga dari guyuran penulis hebat lain.
Ada lagi yang ngasih masukan: "Kamu tuh, kalau mau bagi ilmu jangan gratisan. Apalagi kamu yang nyodorin. Jaman sekarang, yang gitu nggak dianggap. Justru yang bayar mahal itu yang dicari, meski mungkin nggak lebih baik."
Dan … ave pun ketawa ngakak mentertawakan kekonyolan diri sendiri. Atau tepatnya, kegoblokan diri sendiri. Terlebih, bukankah sekarang ave sudah lama tidak menulis cerpen karena tengah menempa diri nulis novel (meski … yah, belum beranjak jauh…)?
Ah, ya. Makasih teman FLP Pekalongan, makasih teman IRM, makasih teman IPNU-IPPNU … udah nyadarin ave bahwa masih banyak yang perlu ave pelajari dan memfokuskan sisa tenaga dan pikiran ke pelajaran ave daripada sok ngasih workshop padahal belum apa-apa. Masih jauhhhhhh banget untuk itu.
Banyak yang lebih kampiun utk itu, dan bukan ave.
I know it.
(Info tambahan: tempo hari dpt bocoran dari Mas Denny Prabowo, beliau bakal mengadakan pelatihan penulisan jarak jauh. Jadi, siap-siap aja buat mendaftar. Belum tahu bayarnya berapa. Moga terjangkau buat kantong ave deh… rugi kalau ave nggak ngikut)
(Tambahan berikutnya: barusan dapat sms dari mas Denny, katanya info tersebut ada di www.lingkarpena.net. )
modul pelatihan ave... (minim banget nih)
Modul 1 : Apresiasi
Seberapa sering engkau membaca cerpen di media? Mulai sekarang, bacalah minimal satu buah cerpen setiap harinya. Dari media apapun yang kamu suka. Kenapa? Karena dengan sering membaca karya orang, kita sesungguhnya belajar dari penulis tersebut.
Tentu saja, membaca sebagai penikmat, dan membaca sebagai pembelajar, ada bedanya. Penikmat, hanya membaca untuk dinikmati. Namun sebagai pembelajar, kita harus bisa menelaah, membedah, mengapresiasi.
Polanya adalah sebagai berikut:
Penulis- gagasan ide cerita -gagasan penceritaan-sampai pada pembaca
Pembaca -mendapatkan penceritaan - menangkap gagasan -apa yang disampaikan penulis
Artinya, ketika membaca sebagai pembelajar, kita membalik apa yang telah dilakukan oleh penulis.
Jadi tugasnya sekarang, ceritakan padaku sebuah cerita yang berkesan bagimu. Ceritakan dengan kata-katamu. Kutunggu di rumahimaji@gmail.com
Salam kreatif,
Aveus har
(baca: pertama adalah gagasan)
pertama adalah gagasan
PERTAMA ADALAH GAGASAN
Dari manakah timbulnya gagasan? Ketika bangun pagi-pagi, seorang anak mengambil handuk dan mandi. Gagasan mandi itu timbul begitu saja karena memang dia harus mandi. Itu artinya, gagasan itu timbul karena terpaksa. Atau ketika pulang kursus seorang gadis menyalakan televisi, gagasan itu timbul karena dia ingin menonton televisi. Jadi bisa saja gagasan timbul karena keinginan untuk melakukan ‘sesuatu’, atau terpaksa melakukan ‘sesuatu’.
Dalam konteks kepenulisan, gagasan timbul karena ada sesuatu yang harus (terpaksa) diungkapkan, atau ingin mengungkapkan. Tapi kita tak perlu berdebat apakah gagasan sebuah karya adalah karena terpaksa atau karena ingin. Semua pemicu adalah boleh-boleh saja. Yang penting adalah, jika kita menulis sesuatu, maka harus ada gagasan yang mendasari proses kreatif kita.
Apakah gagasan itu sebuah ide? Ya. Tapi menurut saya, lebih dari sekedar ide jika ide diartikan sebagai ‘isi’. Karena gagasan lebih dari sekedar ‘apa’ yang hendak diungkapkan, namun juga ‘seperti apa’ pengungkapannya.
Ambillah contoh gagasan membut sebuah rumah. Jika kita hanya membayangkan bahwa rumah yang akan kita bangun berisi satu ruang tamu, ruang tengah, tiga kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur. Seperti apakah hasilnya?
Ambillah kertas dan buatlah gambar denahnya. Hasilnya mungkin beragam. Bisa saja kamar tidur itu berderet, bisa salah satu berhadapan, bisa …. Maka akan sulitlah bagi pekerja bangunan dalam melaksanakan tugasnya. Jangan-jangan selalu saja bongkar-bangun yang terjadi!
Akan lain halnya jika kita sudah memiliki gagasan pasti rumah yang akan kita bangun. Baik isi (seperti ruang-ruang di atas) maupun letak dan bentuk rumahnya. Menghadap kemana, halaman terasnya seberapa luas, juga luas ruang-ruangnya. Bahkan sampai warna cat yang dipilih dan ornamen-ornamennya.
Begitu juga gagasan tulisan kita. Apa isinya? Bagaimana bentuknya? Alurnya? Tokohnya? Segalanya … mungkin tidak bisa kita katakan, namun harus ada dalam bayangan kita. Dalam benak kita. Tulisan seperti apa seutuhnya harus bisa kita bayangkan. Dan kita akan mudah dalam menuliskannya.
Makanya, sebagai penulis, kita musti banyak membaca karya orang dengan kritis. Kita cermati bagaimana penulis bisa mengemas cerita (isi) yang sudah banyak ditulis namun dengan gaya (kemasan, bentuk, ornamen) yang asyik. Hal inilah yang bisa mengubah sesuatu yang klise menjadi menarik.
Coba buka majalah Anneka Yess! Cerpen-cerpen yang dimuat banyak yang seragam dalam isi (biasanya cerita cinta remaja). Namun kita akan menemukan kemasan-kemasan yang berbeda. Ini sekedar contoh yang gampang. Kadang kita justru akan menemukan teknik bercerita yang memukau. Bagaimana seorang penulis bisa melakukan seperti itu?
Kreatif. Inovatif. Eksploratif. Itu modal utama.
Bagaimana kalau kita memiliki ide cerita yang bagus namun tak mampu mengemasnya dengan bagus? Saya yakin, cerita itu hanya akan menghuni tempat sampah redaktur. Seperti anekdot yang pernah saya dapatkan dari EH. Kartenegara, seorang pekerja seni di Pekalongan:
"Apa yang mahal dari Aqua?"
Tak mungkin kita menjawab isinya. Meskipun air mineral ini telah diproses dengan proses yang membutuhkan biaya besar, namun kemasannya lah yang membuatnya mahal. Tidak percaya? Cobalah tuang isi aqua dalam kantung plastik dan tuang air kendi dalam botol aqua. Anggaplah kita bisa melakukan itu tanpa merusak segelnya. Menurutmu, pembeli akan memilih yang mana?
Begitu juga dengan tulisan kita. Redaktur (juga pembaca) akan lebih dulu terpesona oleh kemasannya sebelum menikmati isinya.
Punyakah engkau seorang teman yang pintar bercerita? Dia bisa menceritakan sesuatu dengan cara berbeda sehingga kita tidak jemu mendengarnya!
Coba, mintalah beberapa orang untuk bersama-sama ke Pantai Sigandu, misalnya, tanpa kita turut serta. Lalu mintalah satu persatu, dengan terpisah, untuk bercerita. Mana yang menarik? Kenapa?
Yap! Karena meski ide cerita sama, pijakan gagasan sama, namun teknik berceritanya berbeda. Itulah yang saya ingin ungkapkan di sini. Sedapat mungkin, sebelum engkau menuliskan gagasan di kepalamu, matangkan dulu gagasan itu. Kalau perlu, dapatkan beberapa kemungkinan cara pengungkapan. Bagaimana teknik yang akan engkau gunakan untuk ‘menjerat’ pembaca.
Gagasan tentang ‘cara mengungkapkan’ ide tulisan kita inilah yang seringkali dilalaikan. Menganggap bahwa jika yang akan kita katakan ‘hebat’, itu sudah cukup. Padahal, bukankah kita pernah jenuh mendengar seseorang berceloteh sehebat apapun yang dia katakan karena cara mengatakannya bertele-tele, berputar-putar, berulang-ulang dan susah dimengerti?
Apa yang ingin kamu ungkapkan sekarang?
Bagaimana kamu akan mengungkapkannya?
Jika sudah ketemu, ambil pena dan kertas, mesin tik, atau nyalakan komputer. Tulis sekarang sesuai dengan kehendak dalam benakmu. Sesuai dengan gambaran maumu.
Bagaimana jika belum?
Carilah. Pikirkanlah. Karena seorang penulis pada dasarnya adalah seorang pemikir!
Sabtu, Agustus 11, 2007
nyoba dulu ah...
asyik nih...
kalo bentar lagi aku bisa oret-oret
yang moga bisa berguna buat yang baca
kalau nggak berguna, masak sih aku bagi-bagi ke kalian
iya nggak?